Tentang Paradigma



Paradigma itu ibarat peta, ketika kita akan menuju ke sebuah kota tertentu. Katakanlah dari Tangerang Selatan ke Jakarta Utara. Tapi sayangnya, peta yang kita bawa (bukan versi Gmap ya) adalah peta yang mengarah ke Serang. Sepanjang perjalanan kita akan mendapati bahwa kita tidak akan mungkin sampai pada lokasi tujuan. Karena peta yang kita gunakan tidak sama.

Sepanjang perjalanan ini. orang akan terbagi menjadi 2 dalam menyikapi kesalahan ini : 1. orang yang mempercepat langkahnya agar dia segera sampai, meski sayangnya dia justru mempercepat dia tiba di lokasi yang salah. 2. orang yang senang, menikmati lokasi baru yang memang belum pernah didatanginya sebelumnya. Ya, tapi mau mengambil sikap apapun : positif maupun negatif, mereka tetap sama - tidak akan sampai ke tujuan, karena salah peta.

Jadi kita butuh peta yang benar. Peta yang mengarahkan kita ke lokasi yang menjadi tujuan kita. Nah, ketika nantinya ada halangan dalam mencapai tujuan, misalnya macet, kendaraan mogok, roda mobil kena paku, atau halangan lain; di sinilah sikap akan berperan. Apakah dia akan menganggap halangan itu dengan positif (dalam artian pasti akan dapat dilalui, dan tidak menjadi terlalu masalah karena toh peta kita sudah benar, dan nanti pun akan sampai ke tujuan), atau kita menyikapi halangan itu dengan negatif thinking (lalu membuat kita tidak lagi mau melanjutkan perjalanan, padahal baru roda yang kempes, dan dia sudah tinggal menunggu tukang bengkel mengganti roda dalam mobilnya yang kempes itu)

Jadi, yang terpenting harus diperbaiki adalah peta nya dulu. Harus dipastikan benarnya. Baru kemudian kita menata sikap kita agar bisa selalu positif dalam mencapai tujuan. Karena kalau petanya sudah salah, mau sikap kita sepositif apapun, kita tidak akan pernah bisa sampai tujuan. Tapi kalau peta nya sudah benar, mungkin di suatu titik, kita menyikapi rintangan dengan salah, tapi setidaknya kita sudah berada di jalur yang benar. Tinggap diperbaiki sikapnya, lalu kembali melanjutkan perjalanan.

Misalnya kita ingin mengubah anak kita - yang tidak bisa diatur, terlalu biasa aja di kelasnya, sosialnya juga buruk, enggan bersosialisasi, tidak punya cita-cita, intinya tidak bisa diandalkan. Kita sudah mencoba mengubah sikap kita kepada dia. Misalnya dengan memilihkan sekolah yang lebih baik, memilihkan teman pergaulan yang lebih bisa menjaganya, membuat semacam diskusi setiap hari dengan maksud perlahan dia menjadi lebih baik dan pola pikirnya lebih berubah maju. Tapi apakah berhasil? Tidak. Alasannya kenapa? Karena kita masih punya paradigma yang salah atas anak kita, dalam benak kita, kita masih menganggap bahwa “anak ini tidak bisa diatur, anak ini tidak bisa diandalkan, anak ini butuh harus akan selalu dibantu”. Memang segala program, aktivitas, dll (dalam hal ini merupakan perbaikan sikap) bisa kita ubah menjadi positif. Tapi sayangnya, ketika dalam benak, kita sudah salah memandang “siapa anak kita, bagaimaan anak kita” dan benak kita sudah melabelnya dengan “negatif” maka secara tidak langsung akan bisa tercermin dalam proses perbaikan yang kita maksudkan. Sedangkan kita tidak menyadari hal itu. Misalnya dengan pilihan2 kata kita yang jadinya tanpa sadar tetap akan menjatuhkan dan menyepelekan sang anak, dengan intonasi, nada, gesture; yang tanpa sadar mencerminkan hal itu. Ya, itu karena petanya belum diubah. Akan tetap salah, meskipun sikap telah berusaha diperbaiki.

Teman-teman, pemahaman tentang paradigma ini saya dapatkan dari Buku Laris Internasional, pasti sebagian juga sudah tau, 7 habits… Nah di buku ini yang menjadi penekanan di awal adalah bagaimana memperbaiki paradigma. Bukan langsung ke tips dan trik, atau kebiasaan2 apa yang harus dilakukan untuk menjadi sukses, dsb. Karena percuma kita mengetahui segala tips dan trik itu jika paradigma kita masih salah. Ini poin pertama : perbaiki dulu petanya, baru kita akan bisa mencapai tujuan yang kita maksudkan.

Dalam satu kutipannya yang lain, tentang penyikapan kita atas paradigma yang berbeda. “Pada kenyataannya, kita melihat dunia, bukan sebagaimana dunia adanya, melainkan sebagaimana kita adanya – atau, sebagaimana kita terkondisikan untuk melihatnya. “

Kita sering mengaku sedang menjelaskan suatu permasalahan, suatu objek. Namun, sering pula, yang sebenarnya terjadi adalah kita menjabarkan apa yang ada dalam pikiran kita. Kita menjabarkan cara kita memandang, kita berpikir, dan sebagainya. Sayangnya, kemudian kita dengan mudah menyalahkan orang lain atas ketidaksinkronan penjelasan mereka, dengan penjabaran kita.

Di sebuah kelas, seoran Profesor memberikan masing-masing kartu bergambar kepada mahasiswanya. Ada 40 mahasiswa di sana. 31 mahasiswa mendapat gambar wanita cantik. Dan sisanya mendapat gambar seorang nenek tua. Profesor meminta mereka membuka kartu yang didapat, dan melihat gambar masing-masing dengan sekesama selama 10 detik. Setelah itu, kartu kembali dikumpulkan.

Kemudian profesor memperlihatkan satu gambar hitam putih, sebuah bayangan dari suatu objek. Gambar ini saya letakkan di gambar podcast ini ya.. Itu gambar ilustrasinya. 


Lalu, profesor bertanya kepada mahasiswa, gambar apa yang dilihat. Jawabannya : mahasiswa yang sebelumnya melihat gambar wanita cantik langsung menjawab “wanita cantik”. Namun, dibantah oleh mahasiswa lain yang sebelumnya melihat gambar nenek tua. “Bagaimana bisa itu wanita cantik? Itu adalah gambar nenek-nenek, yang sudah sangat tua!”. Dibantah lagi oleh pihak lawan, “Mana mungkin nenek-nenek, saya aja sempat kepikiran untuk menjadikannya pasangan, saking cantiknya!”

Lalu keduanya berdiskusi, menahan diri untuk saling mengkomunikasikan pendapat masing-masing. Dan ternyata memang masing-masing jawabannya benar. Ada 2 gambar yang bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Ada 2 pesan yang didapat dari percobaan ini :
1. Kita melihat sesuatu objek atau suatu masalah, seringkali telah dipengaruhi oleh apa yang pernah kita lihat sebelumnya. Entah itu objek, atau terkait suatu nilai/pemikiran tertentu.
2. Tidak banyak orang yang mau mencari tahu dan mengkomunikasikan perbedaan itu, sehingga terjadi konflik ; padahal sebenarnya yang dibahas itu ya sama-sama benar, tidak ada yang salah di antara keduanya. Hanya beda paradigma saja, hanya beda perspektif, hanya beda sudut pandang. Hanya beda cara memahami sesuatu.

Lagi-lagi terkait dengan egoisnya kita merasa benar dengan apa yang kita tahu, tanpa peduli bahwa sebenarnya masih banyak yang tidak kita tahu bahkan masih banyak hal lain yang lebih menarik dan mungkin lebih tepat mendefinisikan suatu objek yang sama (dalam hal kehidupan terkait suatu permasalahan). Ya, sekali lagi, karena kita bukan menjabarkan sebenarnya objek , melainkan sedang menjelaskan isi pikiran kita.

Maka, benarlah jika kerapkali kita sering mengalami perubahan paradigm ketika suatu saat kita (umat manusia) menemukan hal yang baru tentang objek yang sama. Contohnya Ptolomeus, astronomi besar Mesir, menyatakan bahwa bumi pusat alam semesta. Akan tetapi Copernicus menciptakan perubahan paradigm baru yang menimbulkan pula banyak tantangan dan penganiayaan, dengan menempatkan matahari sebagai pusat alam semesta. Tiba-tiba segalanya memberikan interpretasi yang berbeda.

Satu kutipan yang memiliki pesan penting dalam bab ini, terkait hal itu adalah

“Ketika orang lain tidak setuju dengan kita, kita segera berpikir pasti ada sesuatu yang salah dengan mereka. Namun, orang yang tulus dan berpikiran jernih melihat segala sesuatunya secara berbeda, masing-masing melalui lensa unik pengalamannya”

Maka, pesan terakhir ya : jangan mudah menyalahkan. Berdamailah dengan setiap hikmah yang kita dapatkan berbeda, karena bisa jadi kita lah yang belum mencapai kepahaman orang lain tentang sesuatu. Mencoba melihat dengan sudut pandang yang berbeda, adalah cara terbaik untuk memahami lebih banyak atas satu objek. Karena kita, sedang ingin menjabarkan objek itu, bukan sekedar menjabarkan pikiran kita atasnya

Semoga dengan cara begitu, kita bisa lebih bijak dalam memandang sesuatu Dan yang pasti kita bisa menggunakan paradigma yang tepat agar kita bisa sampai tujuan yang kita inginkan. Juga jangan sampai kita mudah menghakimi orang lain hanya karena perbedaan penjelasan sesuatu objek padahal mereka menggunakan paradigma yang berbeda.  

Comments

Popular posts from this blog

Terlalu Banyak Alasan #Day1

Biasakan Hal ini, Masalah Akan SELESAI!

Alasan Tidak Bahagia