Pertimbangan Resign dari PNS?


Tahun 2012 saya bergabung dengan keluarga besar Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran. Namun, di tahun 2015, saya memutuskan untuk resign dari PNS. Banyak yang bertanya mengapa, tak sedikit yang menyayangkan keputusan saya, dan ternyata tak sederhana konsekuensi yang harus saya tanggung setelahnya.

Meskipun, saya katakan di sini bahwa saya bersyukur dengan keputusan saya itu. Lalu, apakah kemudian saya menganjurkan teman-teman untuk resign juga dari PNS? Nanti dulu. Saya membahas ini bukan untuk menjadi kompor teman-teman untuk keluar juga dari pekerjaannya. Tapi, saya membahas ini dengan tujuan, semoga bisa menambah wawasan dan membantu pertimbangan teman-teman yang saat ini mungkin sedang dilema, galau dengan dua pilihan ini setelah menikah nantinya - tetap bekerja atau resign saja

Berdasarkan beberapa cerita yang saya dapatkan, juga dari pengalaman saya sendiri tentunya. Alasan seorang wanita, setelah menikah, resign dari pekerjaan kira-kira sebagai berikut :

Pertama : Masalah pengasuhan anak.


1. Ingin mengajar anak sendiri
Ini masalah yang sangat krusial, dan memang paling sering menjadikan seorang wanita dilema berkepanjangan dalam mengambil keputusannya. Anak adalah buah dari pernikahan yang tentunya dinanti oleh pasangan suami istri. Anak adalah harapan orang tua, untuk masa depan yang lebih baik di kemudian hari. Maka, anak adalah amanah yang besar, yang harus dirawat dan dididik dengan baik, agar kelak menjadi anak yang baik, anak yang sholih/sholihah, yang kelak bisa mendoakan kita orang tuanya.

Tentu, kita sebagai orang tuanya ingin memberikan pendidikan terbaik, ingin memegang kendali sendiri, karena kalau dengan campur tangan pihak lain bisa jadi ada ketidaksamaan visi, cara didik, atau pemahaman . Nah, saya yakin semua orang tua mengkhawatirkan masalah ini. Ketika anak diasuh oleh pihak lain, kendali tentu tidak sebesar saat anak diasuh oleh orang tuanya sendiri. Inilah yang membuat wanita memutuskan keluar, agar bisa memastikan pendidikan anaknya dengan lebih baik. Meski -perlu digarisbawahi- bukan berarti setiap anak yang dididik langsung oleh orang tuanya langsung melejit, ya belum tentu. Tapi, setidaknya ini menjadi alasan seorang wanita untuk resign. Ingin mendidik sendiri anaknya.

2. Tidak ada saudara / orang tua yang bisa mendampingi ART dalam menjaga anak

Terkait alasan pengasuhan ini juga, seperti saya sendiri, tinggal di jakarta coret bersama keluarga kecil saja. Bapak dan mertua ada di kampung. Mereka sudah berusia. Saya orangnya tidak terlalu percaya ketika anak begitu saja diserahkan kepada pengasuh -berdua saja di rumah- tanpa ada yang mendampingi. Paling tidak, seperti Mbak saya dulu waktu di Semarang, ada ART namun didampingi oleh bapak/ibu dan mertua secara bergantian, demi memastikan pendidikan anaknya terjamin (dari masalah moral, aqidah, akhlak sehari-hari, dll). Nah karena orang tua dan mertua sudah cukup tua, tidak mungkin kami minta untuk bergantian rutin menengok kami dan membantu mengawasi anak-anak kami sepanjang kami ngantor. Sehingga, keputusan saat itu adalah ya saya harus keluar.

Kenapa tidak mempertimbangkan daycare? Waktu itu, daycare dikantor harus masuk daftar antrian -saking banyaknya anak yang dititip di sana-, daycare di dekat rumah pernah mencoba sekali rasanya kurang sreg, lalu pernah mencoba dengan menitipkan anak ke rumah seorang pengasuh (pengasuhnya tidak bisa pulang pergi, maunya anaknya diantar ke sana) cuma betah beberapa hari, sayanya kurang nyaman, apalagi dengan situasi yang banyak asap di sekeliling rumahnya. Alhamdulillah, membuat saya akhirnya mantap untuk keluar saja.

3. Anak mengalami perkembangan yang perlu pantauan khusus, apakah terkait fisikny,atau perkembangan kepribadian/emosi atau butuh pengkondisian yang lebih intens dari ortu untuk memantau pergaulan, dan agama sang anak.

Kedua : Masalah Pekerjaan atau ingin mengembangkan bisnis/usaha sendiri
1. Bekerja dikantor, artinya harus siap dengan berangkat dan pulang di waktu yang telah ditentukan. Ada orang yang merasa tidak bebas dg jam kantor. Dg perkiraan waktu sampai rumah malam, bahkan tak jarang waktu sholat jadi terlalu mepet. Merasa waktunya terlalu terbuang di jalan.
2. Merasa tidak cocok dg pola kerja/lingkungan/tugasnya di kantor, tidak sesuai dg passionnya dan dia yakin akan bisa berkembang lebih baik jika di luar. Bisa juga karena dia merasa tidak aman dg kondisi kantornya, rekan kantor, atau lingkungan sekitarnya.
3. Ingin mengembangkan usaha yg telah dirintis. karena butuh terjun langsung, tidak bisa lagi sekedar menjadi side job.

Ketiga : Masalah pasangan
1.  LDR dg pasangan itu tidak mudah, tidak semua pasangan sanggup dg segala konsekuensinya. Masalah menjadi lebih rawan membesar -bisa jadi- jika tidak bisa mengelola proses komunikasi jarak jauhnya. Belum lagi kalau sudah punya anak, tentu tidak mudah bagi seorang ibu, mengurus anak sendiri, dan dia pun masih harus berangkat ke kantor ngurus pekerjaan. Butuh mental baja, fisik yang prima untuk bertahan dalam kondisi demikian. Juga ada biaya kunjungan yang tidak murah, bisa di atas 10 juta untuk sekali pulang (ongkos PP-nya). Bisa-bisa Take Home Pay nya habis hanya untuk kunjungan ini. Maka salah satu resign dan tinggal bersama 1 atap menjadi pilihan.
2. Permintaan suami yang memang tidak ingin istrinya bekerja. Tidak tentang anak, tidak tentang pekerjaan, tidak tentang penempatan; tapi memang suami itu ingin istrinya fokus ngurus rumah, dan nanti kalau ada anak-anak ya fokus ngurus anak-anak. Apalagi mungkin dia tau kalau istrinya tidak bisa double job. Maka keputusan resign menjadi jalan terbaik bagi mereka

Keempat : Karena keinginan pribadi
1. Misal role modelnya dulu ibunya, yang juga ada di rumah. So dalam benak dia, wanita itu ya yang terbaik ya di rumah. Wanita itu ya nantinya menemani anak-anak, ngajari anak belajar di rumah, dst.
2. Bisa juga karena dia meyakini sebuah ayat di al quran tentang wanita, wa qorna fii buyuutikunna, “Dan wanita, tetaplah kalian berada di rumah-rumah kalian”. Ini membuatnya yakin bahwa selama wanita tidak ada keperluan mendesak untuk keluar rumah, maka rumah adalah tempat terbaik bagi dirinya. Tidak banyak yang meyakini hal ini. Menganggap rumah ya sekedar rumah. 

Padahal jika mau ditelaah lagi, seorang wanita yang di rumah pun bisa berpeluang memperoleh banyak sekali pahala. Seperti : sholat terbaik wanita adalah di rumahnya - maka IRT beroleh peluang besar untuk ini, di rumah wanita bebas dzikir, baca quran (meskipun harus curi-curi waktu karena harus kasih perhatian ke anak, tapi baca quran di rumah lebih leluasa ketimbang di kantor, ada rasa tidak enak terkadang), di rumah setiap pekerjaan yang dilakukan berpeluang beroleh banyak pahala : menyetrika baju kerja suami ---mendapat pahala suami mencari nafkah, menyiapkan sarapan dll untuk suami agar bisa menjalankan ibadahnya ---mendapat pahala ibadah suami juga. Belum lagi pahala amalan jariyah yang didapat seorang ibu saat mengajari anaknya : membaca quran, alif ba ta, alfatihah, sholat. Itu semua ibadah yang akan dilakukan anaknya seumur hidup, tentu peluang pahalanya sangat melimpah. Termasuk mencontohkan akhlak/kebiasaan tertentu, pun sama



Tantangan Ketika Memutuskan Resign

1. Berbagai mindset yang berkembang di masyarakat tentang ibu rumah tangga
a) Ibu rumah tangga itu pekerjaan yang “hanya”. ketika ada yang bertanya, sekarang kerjanya apa mbak? “Wah, saya hanya ibu rumah tangga…” Ini seolah mengesankan bahwa pekerjaannya adalah pekerjaan yang sepele. Dan pemikiran inilah yang banyak beredar di masyarakat. Nah ini menjadi tantangan tersendiri nih, bagi diri seorang wanita, saat meminta izin keluarga besar, ataupun saat harus menjadi omongan orang-orang
i. Udah mahal mahal kuliah koq jadi ibu rumah tangga
ii. Udah capek capek belajar, koq ga kerja
iii. Sayang banget ijazahnya, mau buat apa cuma disimpan
iv. Ngapain di rumah, nanti bosan! Koq ya cuma jadi pengangguran.
b) Mindset tentang Rezeki, ketakutan orang tua kita jika nanti rejeki anaknya seret karena tidak lagi bekerja. Hanya mengandalkan suami. Takut nanti suami kenapa kenapa, jadi harus punya pegangan dulu. Mungkin bagaimana kita meluruskan mindset ini, termasuk yang tertanam dalam keyakinan kita juga, bahwa rejeki itu bukan dari PNS, bukan dari pemerintah; dan sekalipun keluar dari 1 pintu, Allah akan bukakan pintu rejeki yang lain, yang penting tetap mau berusaha.

2. Menguatkan mental, untuk : Siap qonaah,  siap dg hidup "lebih sederhana" dan siap status karirnya yang 'hilang', siap dengan omongan tetangga/keluarga besar atas mindset yang beredar, siap dengan fasilitas kantor yang tidak lagi bisa dinikmati, siap tidak lagi bisa mendapat prestise di masyarakat sebagai seorang PNS (yang notabene merupakan pekerjaan yang banyak diburu orang), siap untuk tidak mendapat gaji bulanan sendiri, siap untuk tidak bisa pergi jalan-jalan, siap untuk mengurangi me time karena di rumah bisa jadi 24 jam selalu bersama anak-anak.

Persiapan resign :
1. Pahami aturan resign di kantor. Upayakan tidak sampai melanggar aturan. Kalau di salah satu instansi kan ada aturan setelah permintaan resign diajukan maka harus menunggu 6 bulan sebelum masa boleh bebas. Ini harus diperhitungkan juga. Termasuk memperhitungkan biaya ganti rugi jika masih ada ikatan dinas

2. Jika resign dg niat berbisnis, nasehat dari salah seorang pebisnis muda, ya jangan asal resign dulu. Kalau bisa, bisnis nya sementara jadi side job dulu sampai sekiranya yakin bahwa bisnis ini akan bisa berkembang. Karena membangun bisnis itu -bagi sebagian orang- tidak lebih mudah ketimbang bekerja dg orang. Resikonya lebih besar. Jadi persiapkan matang matang.
3. Upayakan sudah ada alternatif kegiatan paska resign. Jangan kosong kosong amat, meskipun pada kenyataannya, tidak bisa dikatakan IRT itu lebih santai dari ibu bekerja; tapi seringkali kekosongan itu karena penundaan, atau kita enggan mengembangkan diri juga. Ya meskipun sudah jadi IRT bukan berarti kita nya ga belajar lagi, ga mau mengembangkan diri donk. Paling tidak, kita ada rancangan mau ke mana mau apa. Misalnya mau gabung ke kajian Senin pagi, mau ikut kursus ini itu.. ya meskipun fokus utama bisa jadi ke anak, atau ke keluarga; tapi jangan lupa bahwa diri juga punya hak untuk terus bertumbuh. 
4. Ilmu apa yang perlu dicari, skill yang dibutuhkan sebelum resign. Terkait ilmu ini ya saya rasa banyak sih. Yang pasti, ilmu agama terus dicari; mau resign atau ga. Apalagi kalau seorang wanita memang sudah memutuskan keluar, maka perlu menguatkan masalah aqidah, tawakal, pemahaman atas rejeki. Untuk ilmu yang lain bisa jika ada kesempatan untuk belajar, dimanfaatkan saja. Selama masih bisa belajar, apa saja yang dibutuhkan, apa yang disukai. Yang lain, karena kita yang akan terjun langsung mengurus anak, maka ilmu parenting wajib diupgrade terus. Ilmu tentang mengurus rumah, ilmu tentang mengatur keuangan. Bagus lagi jika kita bisa punya skill khusus, yang bisa kita asah; mungkin tidak untuk mendapat uang tambahan, tapi membuat kita pun tetap bisa berdaya ke luar. Tapi ingat, sebesar apapun manfaat yang kita berikan di luar, ada amanah yang lebih penting untuk kita prioritaskan : keluarga. Jagalah diri dan keluargamu dari api neraka. Jangan sampai kita sibuk ngurus orang lain, tapi anak sendiri malah disia-siakan.
5. Lakukan komunikasi dengan segala pihak, secara perlahan. Misal dengan orang tua, keluarga besar, atau siapapun yang sekiranya nanti akan terdampak dari keputusan kita. Tidak mudah mengubah mindset seseorang sebagaimana yang telah saya sebut di atas. Maka butuh waktu. Kasian juga jika tiba-tiba kita memutuskan keluar dari pekerjaan; padahal pekerjaan itu adalah sesuatu yang dibanggakan orang tua. Kita juga harus menghargai mereka, dalam arti, kita butuh mengkondisikan perasaan mereka, pelan pelan. Harus sabar. Mungkin tidak bisa sekali dua kali. Butuh obrolan yang panjang. Tergantung bagaimana kondisi orang tua. Belum lagi jika kita termasuk salah satu penopang hidup keluarga besar kita (adek-adek kita yang masih kuliah, orang tua yang sudah semakin tua dan tidak bisa lagi bekerja) tentu perlu kita persiapkan semuanya. Kita perlu diskusi kepada suami, pastinya, nanti siapa yang akan membantu keluarga. Apakah suami bersedia, apakah kita akan sanggup menyisihkan sebagian pendapatan untuk membantu mereka. Dan sebagainya.

Jika ada yang bertanya, “mbak, sebaiknya saya resign atau ga ya?”, Maka saya tidak bisa begitu saja menyampaikan saran, karena kita tidak tau benar kondisi yang ada. Pun misalnya saya tau pun, yang paling paham bagaimana kondisi2 itu ya kalian sendiri. Maka memang pertimbangan yang banyak harus dibuat :
1. Alasannya apakah benar-benar kuat? Jika tidak benar-benar kuat, bisa jadi nantinya malah menyesal. Contoh alasan yang kuat seperti mengikuti perintah Allah dalam quran bahwa wanita tempat terbaiknya di rumah. Nah ini sangat kuat; karena dengan begitu kita benar-benar tawakal kepada Allah, bahwa kalau kita melakukan karena Allah maka pasti Allah akan urus semuanya.
2. Pertimbangan keuangan. Bukan masalah besarnya, tapi setidaknya suami siap memperjuangkan nafkah itu untuk kita. Juga bagaimana kita menyesuaikan gaya hidup kita. Termasuk penting juga punya cadangan tabungan. Bukan berarti harus banyak ya, tapi paling tidak, ada tabungan dulu. Apalagi kalau suami juga bukan pekerja tetap.
3. Pertimbangan pribadi. Sudahkah siap dengan segala aktivitas yang sangat berbeda dengan lingkungan kantor. Sudahkah mengetahui gambaran aktivitas setelah resign. Termasuk pasti akan melewati masa jenuh, dan kacaunya diri, naik turun. Apakah nanti bisa lebih produktif atau tidak. Ya meskipun ukuran produktif nya tidak sama; setidaknya ada bayangan, nanti mau melakukan apa agar tetap bisa bertumbuh.  
4. Pertimbangan keluarga. Sudahkah mereka dikondisikan, sudahkan mereka menerima. Jika mereka belum menerima, apakah kita akan lanjut -mengingat kondisi-, atau masih bisa menunggu kelapangan hati orang tua kita.
5. Pertimbangan momen yang tepat untuk resign. Ini terkait kesiapan banyak pihak. Termasuk misal resign karena bisnis, pastikan dulu bisnisnya sudah menghasilkan -meski tidak besar- tapi bisnis nya sudah bisa jalan dengan baik.

Berikut ini saya akan sharing tentang alasan dan pertimbangan resign saya, serta bagaimana kehidupan saya setelah resign. 

Kalau tentang alasan saya resign dari ASN ada beberapa hal :
1. Saya melihat videonya ust Budi Ashari, judulnya “Ibu Pulanglah” yang intinya bahwa ada calon pejuang yang menanti duduk di majelis ilmu seorang ibu di rumah. Di situ beliau juga menjabarkan pahala dan kebaikan yang ibu dapatkan ketika di rumah saja. Termasuk dengan ayat perintah Allah untuk meminta ibu di rumah saja
2. Saya memiliki seorang anak, dan saya tidak menemukan lokasi penitipan terbaik. Tidak ada yang bisa menjaga anak saya selama saya dan suami ke kantor.
3. Saya merasa kurang nyaman dengan perjalanan saya dari rumah ke kantor dan sebaliknya, karena harus berboncengan dengan non mahram, harus berdesakan saat ada di peron dengan lawan jenis. Juga karena saya bertugas di bagian front office membuat saya banyak bertemu dengan bapak-bapak dari mitra kerja.
4. Saya merasa banyak waktu di kantor tidak termanfaatkan dengan baik. Saya merasa tidak bisa optimal dalam bekerja di kantor.

Yang saya pertimbangkan kemudian adalah : 
1. Saya tidak ada tanggungan keluarga lain (adik, dll), tidak ada keluarga yang butuh rutin harus saya bantu secara rutin, dan saya juga anak bungsu, dan kakak saya sudah mapan juga bersama keluarganya. Tidak banyak yang menjadi pemikiran saya berikutnya. 
2. Uang untuk ganti rugi alhamdulillah sudah tersedia. Bertepatan juga saya mendapatkan rapelan gaji, sehingga saya punya tabungan untuk beberapa waktu selanjutnya. 
3. Keluarga kami sudah menempati rumah sendiri, alhamdulillah, dan tidak ada tanggungan hutang yang harus dibayar per bulan. seperti KPR rumah/mobil, kami tidak ada. Kami memang mendapat pinjaman untuk biaya rumah, tapi dari orang tua kami, dan itu dikembalikan dalam jangka waktu yang sangat fleksibel dan tanpa bunga. Ini sebuah rejeki dari Allah, niatan kami dulu menghindari KPR, menahan diri untuk membeli kendaraan (mobil) karena memang tidak butuh-butuh sekali; dan alhamdulillah kakak juga penggerak komunitas bebas riba, sehingga Allah menolong kami dari kebutuhan utang itu. Hal ini sangat krusial karena alhasil bulanan kami ya sekedar untuk kebutuhan hidup harian saja. 
4. Momennya cukup pas sih, saya belum terlalu lama bekerja, anak masih batita -belum ada kebutuhan sekolah dll-, saya masih belum mendapat banyak beban tugas/amanah di kantor, jadi ketika saya keluar pun ya silakan silakan saja. Alhamdulillah.
5. Untuk pengkondisian orang tua, saya hanya mengabarkan kepada bapak lewat telepon. Saya tau bapak belum bisa ikhlas betul. Tapi, ya, mungkin agak saya paksakan, karena memang kondisi memaksa kami demikian. Saya tidak akan meminta bapak/ibu ikut ke sini menjaga anak saya, pun bapak ibu mertua juga kalaupun ke sini ya sekedar mereka melepas rindu, dan jalan-jalan saja, bukan untuk menemani anak-anak kami. Karena usia sih, lebih tepatnya. Kami tidak tega. Alhamdulillah, bapak ibu mertua ya menyetujui. Sepertinya bapak mertua masih agak berat, tapi ibu mertua juga lebih prefer kalau cucunya dijaga sendiri sama ibunya. Begitu. Memang tidak mudah, terutama mengkondisikan keluarga besar, namun, karena saya tinggal jauh dari keluarga besar, sedikit banyak membuat saya lebih tidak terlalu kepikiran dengan "apa yang mereka pikirkan" terhadap diri saya. Paling pas pulang kampung saja, saya akan masih mendengar, "Wah sayang ya.. koq dilepas kerjaannya". Bahkan masih terdengar bertahun-tahun setelah saya resign, pas udah ada anak kedua. 

Setelah Resign

1. Penyesuaian psikologis setelah resign, menghadapi jetlag.
Setelah resign, awalnya saya sangat bahagia. Rasanya ya kayak hari jumat pas pulang kantor, seneng karena besoknya bisa seharian bersama anak. Nah begitu yang terjadi di awal. Mungkin itu masa bulan madunya kali ya.. Semangat untuk memanfaatkan waktu bersama anak lagi besar-besarnya, semangat nyari berbagai perlengkapan untuk mengajari anak (montessori segala rupa, balok2an, dll) dan menyusun jadwal belajar anak,dll. Lagi semangat-semangatnya. Nah, setelah beberapa bulan, baru mulai terasa monoton, jenuh, capek, bosan. Pengen ngantor lagi. Belum kalau lagi marahan sama suami, wah itu rasanya pengen kerja lagi, biar ga ketemu tembok2 rumah lagi.

2. Penyesuaian keuangan/anggaran
Alhamdulillah saya tidak terlalu merasakan perbedaan signifikan terkait keuangan. Pertama karena gaya hidup saya dan suami ya biasa-biasa saja; alhamdulillah tidak ada hutang ke bank juga -yang notabene harus terbebani bunga segala rupa-, Sehingga tidak terlalu kaget dengan tidak adanya gaji pribadi. Selain itu, alhamdulillah mungkin ini janji Allah tentang rezeki. Beberapa saat sebelum saya resign (atau setelah ya, saya lupa) THP / gaji suami naik hampir 2 kali lipat, karena pada waktu itu ada kebijakan perubahan jumlah remunerasi yang diterima oleh PNS. Dengan begitu, makin amanlah kondisi keuangan kami. Jadi, ya seperti tetap 2 orang yang kerja, wong naiknya 2 kali lipat ya kan. Alhamdulillah, ini pertolongan Allah untuk keluarga kami. Yang intinya : jangan khawatir dengan rejeki ya kawan.

3. Penyesuaian waktu, apakah makin produktif atau tidak
Ada kalanya saya merasa produktif, ada kalanya merasa hanya rebahan saja. Kalau dilihat dari waktu, sebenarnya aktivitas seorang Ibu Rumah Tangga itu sehari-hari ya normalnya ya memasak, mencuci, membereskan rumah, mengajari anak-anak belajar, menemani mereka bermain, membantu urusan suami, dsb. Sederhana ya, simpel. 

Ada yang bilang, “kenapa pekerjaan-pekerjaan teknis begitu tidak diserahkan kepada ART saja?” Nah ini juga pilihan. Banyak pertimbangannya. Namun, untuk saat ini, sampai saat ini alhamdulillah dengan bantuan dan kerja sama pak suami yang juga bukan orang yang terlalu ribet (maksudnya, ya mau istrinya masak atau ga, ga terlalu masalah. Mau masakan enak atau ga, beliau makan lahap lahap aja. Cucian ya pak suami turun tangan. Dan banyak pekerjaan rumah tangga yang saling dikerjakan bareng2, ya makanya belum butuh ART). 

Apakah mengerjakan semua itu dibilang produktif? Ya, ukuran produktivitas seseorang beda beda donk. Ga bisa juga kita katakan ga produktif, wong banyak dampak yang dihasilkan, sekalipun tidak salam jangkan pendek. Misalnya masak makanan terbaik untuk anak sehingga anak bisa tumbuh sehat dan cerdas. Beres-beres rumah, sehingga pikiran penghuninya selalu fresh lalu bisa makin lancar berkarya, ga sumpek. Nyuci baju, sehingga tidak ada yang terganggu dengan bau tidak enak ketika berada di rumah. Wah banyak hal sederhana yang sebenarnya itu sangat signifikan lho, sayangnya sering disepelekan dan tidak dianggap sebagai pekerjaan yang profesional lalu melakukan asal-asalan. Sebab dalam benaknya itu sudah tertanam bahwa produktif itu keluar rumah, kerja kantoran, dapat gaji, punya prestasi A,B,C; padahal sekedar memasak masakan bergizi itu saja sudah sangat banyaaaak efek baiknya. PRoduktif kan itu? Gitu, yang seringkali saya juga sering terlewat sih. Lalu mengerjakan asal-asalan. Tapi proses belajar, saya menganggapnya begitu.

4. Penyesuaian emosional
Berasa di rumah 24 jam , bertemu dengan orang yang sama selama 7 hari per pekan, melihat pemandangan yang sama, dan harus menghadapi aneka drama bersama anak dan suami. Hehe.. seringkali bikin emosi meluap-luap. Kalau dulu pas kerja, masih ada kesempatan me time lebbih banyak, yaitu pas kita di kantor. Tapi pas di rumah,baru tidur 5 menit udah dilendotin anak, baru mau baca quran atau baca buku halaman pertama, anak nangis bertengkar dengan kakaknya. Banyak hal yang bisa membuat emosi naik turun. Tapi kuncinya satu : ya, kita butuh menenangkan hati. Caranya? Bisa dengan baca quran, dzikir, ibadah. Juga jangan lupa menghargai diri kita, paling ga ada semacam reward untuk diri yang udah kerja keras. Beda dengan di kantor yang kita mungkin bisa jadi pegawai berprestasi; tapi di rumah kan ga ada. Jadi beri reward kepada diri sendiri, sekalipun hanya minum kopi dan donut pagi-pagi, atau apapun yang kita senangi. Begitu.

5. Penyesuaian jadwal aktivitas pribadi
Alhamdulillah setelah resign allah membukakan banyak peluang aktivitas untuk saya. Salah satunya : bisa belajar tahsin lagi, bisa ikut kelas halaqoh tahfidz quran sampai sekarang, sempat hampir 2 tahunan ikut salah satu mahad di sini, kelas bahasa arab trus sempat ikut kuliah online belajar agama dan bahasa arab dari yayasan BISA, menemani santri santri di Rumah quran stan (yang kalau saya tidak resign, saya tidak yakin bisa melakukan hal ini) - dan ini menjadi anugerah yang sangat berharga untuk saya. lalu sampai saat ini saya bisa memulai kembali perkuliahan meskipun dari awal, tidak mengapa, dan saya pun berpeluang meningkatkan banyak skill saya. Meksipun ya baru di tahun tahun terakhir ini. Tidak apa apa. Memang butuh waktu sih untuk menyesuaikan semuanya. Tapi yakin deh, insyaallah setiap orang kan ada masa-nya ya, jadi dinikmati saja, sembari terus belajar tumbuh di banyak aspek kehidupan kita. Tak apa, tak harus menjadi luar biasa koq; yang penting bagi kita adalah bisa menjadi ibu yang selalu bertumbuh lebih baik, dan menjadi ibu yang selalu bahagia dengan segala aktivitas dan kesibukan yang kita jalani.

Pesanku untukmu, sesama Ibu Rumah Tangga… Semoga kita bisa saling terus mengingatkan ya…  
1. Jangan membandingkan keluargamu dengan keluarga lain, anakmu dengan anak2 lain. Beda, dan tidak bisa dibandingkan. Sama sekali. Yang ada membuatmu tidak aman dan nyaman dengan kehidupanmu. Padahal, potret yang kita dapatkan atas sebuah keluarga kan bisa jadi hanya gambaran di depan kamera. SO, berbahagialah dengan dirimu dan keluargamu ya..
2. Meskipun banyak potret IRT hebat di luaran sana, kamu tak harus menjadi seperti mereka koq. Jadilah hebat bagi dirimu, dan keluargamu sendiri. Ukuran hebat, ukuran keren, ukuran sukses sebagai seorang IRT bukan ditentukan oleh orang lain, bukan dengan ukuran follower atau bukan juga dengan ukuran semata apa yang bisa kita lihat dengan kasat mata. Ada banyak hal yang membuatmu hebat, dengan peran “sesederhana” memasakkan anak-anakmu makanan terbaik untuknya, menemaninya bermain sepanjang hari, mengajarinya alif ba dan ta.
3. Seringkali kita khawatir dengan rezeki, ya wajar koq. Kalau lagi khawatir, ingat ingat lagi bahwa semua sudah ada yang ngatur. Perkuat lagi tawakalnya kepada Allah. Rejeki kita sudah ditetapkan.
4. Kalau lagi capek banget, bosen banget jadi IRT, inget inget lagi dulu tujuannya apa ketika mengambil keputusan ini. Wajar sih sekali dua kali, kita akan merasa jenuh, karena yang kita hadapi sama setiap hari. Maka, ya mengingat kembali niat awal, peluang melimpahnya pahala dari Allah.
5. Kalau pas dulu kita meninggalkan sesuatu karena Allah, yakin Allah akan mengganti semuanya dengan lebih baik. Misal dulu kita ninggalin kerjaan karena kerjaan kita tu banyak area abu-abunya, banyak uang yang ga jelas; maka insyaallah Allah akan menggantinya. Jika dulu keluar dari kerjaan karena ingin memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak kita, insyaallah -meskipun saat ini kita harus kehilangan banyak peluang melanjutkan pendidikan- suatu saat kita akan mendapat ganti yang lebih baik lagi.
6. Jangan jadikan peran IRT sebagai alasan untuk tidak berkembang. Justru harus menjadi motivasi untuk berkembang. Anak akan menjadikan kita sebagai role modelnya. Kalau anak melihat ibunya adalah wanita yang suka belajar, maka insyaallah anak pun akan demikian. Kalau anak melihat ibunya adalah wanita yang sabar, anak akan terkondisikan seperti itu juga. Kalau anak melihat ibunya rajin ibadahnya, anak pun akan demikian. Kalau anak melihat ibunya suka mencoba peluang baru, mempelajari skill baru, menambah kapasitas dirinya, maka anak akan demikian juga. Ada trenyuuuh di hati saya ketika sahabat saya, bercerita kisahnya dulu, “Dulu saya sempat malu karena Ibu saya tidak bekerja, tidak seperti ibu kawan-kawan saya lain yang rata-rata bekerja. Tapi ketika saya beranjak remaja, saya sadar, bahwa Ibu saya tetaplah Ibu yang Hebat, meskipun Ibu tidak bekerja.” jadi, ibu terus belajar, terus bertumbuh yaa….
7. Segala usaha kita tidak akan bisa berjalan, jika tanpa pertolongan Allah. Kita, sebagai Ibu, hanyalah seorang manusia yang begitu lemah di hadapan Allah. Maka, mintalah tolong kepada Allah agar dikuatkan menghadapi segala ujian yang datang, dan menghadapi segala konsekuensi yang kita harus jalani atas pilihan kita ini.

Jurangmangu Timur, 17 Juni 2020
Adhwa F. Annada

Comments

Popular posts from this blog

Terlalu Banyak Alasan #Day1

Biasakan Hal ini, Masalah Akan SELESAI!

Alasan Tidak Bahagia