Belajar dari 3 Penasehat Raja


Cerita sederhana, tentang Seorang Raja, dan 3 Penasihatnya. Suatu hari, raja memerintahkan ketiga penasehatnya untuk mengambil buah-buahan di kebun kerajaan. Raja memberikan bekal 1 karung untuk setiap orang. Maka pergilah ketiga penasehat itu ke kebun kerajaan.

Penasihat pertama berjalan menuju kebun sembari terus menggerutu, “Ih, emangnya tugas penasehat kerajaan itu cuma ngambil buah-buahan?! Gak pantes lah. ” Setelah sampai di lokasi pun, dia merasa malas untuk memanjat pohon dan memetik buah-buahan dari pohonnya. Dia masukkan saja buah-buahan yang sudah terjatuh di bawah, tak peduli bagaimana kondisi buah tersebut. Bahkan sebagiannya ada yang telah membusuk dimakan ulat. Segera diisinya karungnya sampai penuh.

Penasihat kedua berjalan menuju kebun sembari bergumam, “Ah, raja pasti sangat sibuk. Tidak mungkin dia akan memeriksa satu per satu hasil buah-buahan yang kami ambil!”. Ketika sampai di kebun, yang dilakukan adalah memasukkan apapun yang ditemui di kebun, ke dalam karungnya : ranting, daun, sampah, yang penting baginya karungnya terlihat penuh, “Toh, raja tidak mungkin memeriksanya, kan?”

Penasehat ketiga. Dia sedikit berbeda dengan kedua rekannya. Dia menuju ke kebun dengan gembira, dengan penuh semangat. Dia nampak sangat antusias dengan tugas yang diberikan oleh raja kepadanya itu. Alhasil, sampai di kebun, dia langsung bergegas memanjat pohon. Bahkan sampai tinggi sekali. Demi mendapatkan buah yang terbaik, teranum, dan termanis, untuk diberikan kepada sang raja nantinya. Alhamdulillah, dengan segala kerja kerasnya itu, dia berhasil mengumpulkan 1 karung buah-buahan segar, dan ranum. Tugasnya pun selesai.

Sore harinya, ketiga penasehat itu berkumpul menghadap raja, dengan membawa hasil panen masing-masing. Dan benar, ternyata raja memang tidak memeriksa satu per satu karung bawaan penasehat. Tapi, kalian tau, apa yang diperintahkan raja?

“Baik, silakan kalian buka karung masing-masing, dan makan isinya…”

Well.. tentu kamu tau kan, siapa yang paling menikmati hasil panennya, dan siapa yang paling menderita di akhirnya?

Cerita sederhana ini saya dapatkan dari tulisan Bapak Jamil Azzaini, seorang motivator terkenal di Indonesia. Dan dari kisah tersebut, saya mencoba untuk merenunginya. Rupanya, banyak sekali hikmah yang bisa kita petik dari kisah tersebut.

Bahwa Setiap orang akan memanen apa yang ditanamnya. Jika dia menanam kebaikan, dia akan bisa panen kebaikan juga. Ingat kan bunyi salah satu ayat di dalam Al Quran, “Tidaklah balasan suatu kebaikan, melainkan kebaikan juga”. Lihatlah, siapa niatnya yang baik, diantara ketiga penasehat? Tentu penasehat ketiga. Dia ingin melaksanakan perintah raja, dengan baik, maka dia pun mengerahkan kemampuan terbaiknya. Hasilnya : buah-buahan terbaik pula yang akhirnya dimakan dan bisa dinikmatinya.

Namun, sebagian dari kita, sering meremehkan suatu pekerjaan, karena merasa diri kita tidak pantas melakukan pekerjaan itu. Mungkin ini perkara gengsi, angkuh, atau semacamnya. Penasehat pertama merasa tugas panen buah di kebun itu tak layak dilakukan olehnya; cukuplah dilakukan oleh tukang kebun kerajaan. Makanya, dia kerja seadanya, mengambil buah yang jatuh-jatuh, bahkan busuk, dia tak peduli. Hasilnya, dia pula yang harus memakan buah-buahan busuk dan sudah koyak terjatuh dari pohonnya itu.

Kemudian, kita sering merasa, saking tidak pentingnya kerjaan yang kita lakukan,  kita kerjakan pekerjaan itu dengan asal-asalan seolah tidak ada yang peduli, ga ada yang periksa dan tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada siapa-siapa. Seperti yang dilakukan oleh penasehat kedua, dia merasa tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya nanti kepada raja -saking sibuknya raja, menurutnya- sehingga dia memasukkan sampah ke dalam karungnya : akhirnya, sampah pulalah yang menjadi menu makan malamnya hari itu.


Teman-teman, pelajaran2 itu sebenarnya sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari kita, yang mungkin sebagiannya telah pernah kita alami.

Misalnya ketika memilih sekolah dulu, lalu kita mendapat jurusan yang tidak favorit, dari PT yang tidak banyak dikenal orang. Dalam kondisi seperti itu, ada 2 tipe mahasiswa. Mahasiswa yang kemudian merasa apa yang akan dilakukannya di sana tidak penting; tidak keren; sehingga akhirnya dia tidak bisa maksimal, terus menjadi orang biasa -sebiasa jurusan yang dia masuk di dalamnya-. Atau ada mahasiswa yang ketika masuk ke sana merasa akan bisa menggali banyak ilmu, merasa proses perkuliahannya nanti akan mendapat banyak pengalaman, dan bisa menjadi orang penting ke depan. Maka, ya dia akan menjadi mahasiswa yang tidak biasa. Saya banyak memiliki teman, masuk ke jurusan yang dipandang sebelah mata bagi kebanyakan mahasiswa; tapi dari sanalah dia malah bertemu passionnya, bertemu ladang rejekinya, dan bahkan membuatnya bisa melalangbuana ke luar negeri mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah di tingkat selanjutnya.

Di kondisi sebaliknya juga ada : mahasiswa sebuah PT ternama, dengan jurusan berpassing grade tertinggi; namun justru akhirnya tidak bisa memaksimalkan dirinya sebagai mahasiswa karena sudah merasa “aman” dengan posisinya, merasa tidak perlu kerja keras karena toh pasti ke depan akan aman kehidupannya sehingga dia menjadi mahasiswa biasa-biasa saja, dan tidak banyak menggali ilmu di masa perkuliahannya. Lalu akhirnya setelah lulus, dia tidak juga beroleh pekerjaan hanya karena merasa gengsi -dengan pekerjaan yang dianggap remeh temeh- tidak mau memulai dari bawah, inginnya langsung menjadi direktur, dan seterusnya. Ya, dan akhirnya dia tidak pernah menjadi apa-apa; karena jika pekerjaan yang sederhana saja tidak bisa dikerjakan dengan baik, bagaimana orang akan percaya untuk dia mengerjakan perkara yang menyangkut banyak orang, atau perkara yang lebih besar. Seperti penasehat pertama : sudah merasa wah dengan status penasehat raja, sehingga merasa ketika harus ngambil buah-buahan, gengsi, kesel sendiri, tidak mengerjakannya dengan baik.  

Trus masalah kerjaan, apakah di lingkup organisasi di kampus, maupun ketika di pekerjaan. Seringkali kita merasa rendah saat diberi pekerjaan remeh temeh. Misal lulusan sarjana, masuk ke kantor pertama kali, malah cuma dikasih tugas foto copy berkas, menyalin berkas, memberi nomor surat, atau sekedar mengantar surat dari satu bagian ke bagian lainnya. Trus mengerjakan seadanya, asal selesai saja. Padahal, dari pekerjaan yang sederhana itu, kalau kita mengambil sudut pandang yang tepat, kita bisa banyak mengambil pelajaran : kita jadi mengerti bagaimana cara fotocopy, gimana biar bisa cepat dan efesien terkait dengan pengadaan berkas - mana tau nanti bisa bikin usaha percetakan. Atau dengan sekedar mengantar surat itu kita pun bisa lebih paham dengan situasi kerja di setiap bagian, bisa ngobrol dengan satu dua orang yang ditemui, bisa banyak ilmu yang kita dapat dengan bertanya satu dua hal kepada mereka, bisa menambah koneksi, dsb. Nah, kalau pekerjaan sederhana saja bisa kita kerjakan dengan baik dan senang hati, maka orang akan lebih suka memberikan pekerjaan yang lebih berat dan lebih “bergengsi” kepada kita.

Kalau di lingkungan perkuliahan, mungkin ada yang merasa tidak nyaman jika menjadi “bidang konsumsi” saja. Mengapa? Karena merasa hanya di belakang, ngurusin logistik, makanan. Tidak sementereng bidang acara, bidang pengurus harian, dll. Lalu mengerjakan seadanya, asal selesai. Padahal banyak yang bisa dipelajari. Ada kawan kawan saya yang justru jadi spesialis logistik, spesialis urusan konsumsi. Dia paham betul ke mana saja harus memesan makanan, harganya berapa, mana yang bagus kualitasnya, bagaimana kalau kurang, segala macam dia paham. Akhirnya, dia semakin dikenal. Dari awalnya cuma mengurus konsumsi di internal organisasinya, lalu dikasih amanah mengurus konsumsi tingkat kampus, untuk seluruh mahasiswa. Trus pas kerja dapat amanah mengurus konsumsi sampai tingkat kementerian, dst. Jangan pernah meremehkan 1/2 pekerjaan/tugas yang diberikan kepada kita; merasa tidak penting apalagi tidak ada yang melihat kerja kita. Karena jika kita bisa melaksanakan tugas dengan baik, pasti kita akan mendapat hasil yang baik pula, dan ingat sekalipun tidak ada orang tau kerja keras kita; tapi yakinlah bahwa Allah maha melihat, dan kita akan mempertanggungjawabkan apapun yang kita lakukan di dunia ini, kepada Allah.

Nah, dalam dunia rumah tangga juga ni - berhubung saya juga IRT, hal-hal itu sering terjadi lho. Misalnya seorang wanita, dengan ijazah S1, S2 tiba-tiba harus ikut suaminya, dan harus melepas kerjaannya. Lalu merasa tidak lagi berguna karena pada akhirnya dia hanya menjadi ibu rumah tangga, yang ngurus anak, ngepel rumah, nyuci piring, masak, nyuapin, ngajarin PR anak, dsb. Padahal jika mau melihat dari perspektif lain, bisa saja kita menjadikan pekerjaan ibu rumah tangga ini sebagai pekerjaan profesional, karena kita bisa belajar banyak hal dari keseharian yang kita lakukan : bagaimana menjadi guru yang baik bagi anak, menjadi chef andalan keluarga, menjadi desainer interior di rumah, menjadi dokter terbaik bagi keluarga, menjadi teman yang menyenangkan bagi seluruh anggota keluarga, menjadi psikolog - tempat curhat terbaik bagi keluarganya, menjadi PR-public relation nya keluarga dengan tetangga, dan keluarga besar. Banyak banget yang bisa dipelajari.

Kalau mau nyari contoh, masih banyak hal yang bisa kita refleksikan dalam kehidupan sehari-hari dari cerita 3 penasehat tadi. Kalau mau disimpulkan : tentang mindset, tentang sudut pandang kita saat menghadapi sesuatu. Ketika mendapat pekerjaan, kita menganggapnya sebagai beban, atau ladang untuk belajar? Ketika mendapat tugas, kita sekedar menyelesaikannya asal-asalan, atau justru membuat kita semakin banyak latihan? Ketika mendapat ujian dengan kondisi yang menurut kita tidak layak, kita terus merutuki nasib, atau menjadikannya pintu gerbang terbukanya lebih banyak kesempatan?

Ada orang yang meremehkan suatu pekerjaan karena merasa dirinya tak layak melakukan kerjaan itu. Ada orang yang mengerjakan dengan asal-asalan, karena merasa tak terlalu berguna bagi dirinya
Ada orang yang merespon setiap tugas dengan penuh semangat, karena merasa dengan begitu dia akan bisa membahagiakan banyak orang. Dan tentunya dia yakin bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjwaban. Kalau tidak oleh makhluk di dunia, ya nanti, di akhirat, di hadapan sang pencipta.

Nah pertanyaannya sekarang, kamu, pilih menjadi penasehat yang mana?

11 Juni 2020
Adhwa F. Annada

Comments

Popular posts from this blog

Terlalu Banyak Alasan #Day1

Biasakan Hal ini, Masalah Akan SELESAI!

Alasan Tidak Bahagia