Rencana Kita Vs Rencana Allah


Kita boleh berencana, tapi tetap, kita harus siap untuk menerima setiap perubahan rencana yang digariskan Allah pada kita. Tentang apapun. Misal, bagi seorang pasangan suami istri, di awal menikah biasanya akan ada perbincangan, “Kita mau punya anak berapa, Bund?”, atau “Kira-kira nanti kita mau dikasih jarak atau gimana, KB atau ngga?”. Meski pada akhirnya, kita harus siap dengan keputusan Allah tentang apapun yang kita rencanakan.

Ketika merencanakan sesuatu, kita tentu selalu pakai pertimbangan, dengan berbagai alasan dan dengan menggunakan skala prioritas. Kita harus pandai memilah-memilih mana yang kira-kira lebih pas dengan kondisi kita. Karena keputusan kita akan terkait dengan konsekuensi yang pasti akan membersamai setiap pilihan. Pasti. Misalnya urusan nanti mau jadi Ibu Rumah Tangga, atau keluar dari pekerjaan ya? Maka, ada konsekuensi yang harus dipikirkan : tentang nafkah dari suami, tentang menguatkan mental dan rasa qonaah, tentang manajemen keuangan rumah tangga, tentang bagaimana menyampaikan planning ke depan kepada keluarga besar, termasuk juga bagaimana menguatkan diri dengan omongan kanan kiri ketika kita memilih salah satu dari pilihan itu.

Dan tetap, lagi-lagi pada akhirnya, setelah kita memutuskan suatu rencana, Allah yang berkuasa mengatur semuanya, Allah akan memberikan kita suatu ketetapan, yang bisa jadi bertentangan jauh dari apa yang kita pikirkan. Dan, kita harus siap dengan keputusan Allah itu, meski kita seringkali menyangkalnya karena merasa perencanaan yang kita buat itu sudah sempurna.  

Ada pasangan yang ingin bersegera mempunyai momongan -entah karena usia, ataupun memang ingin segera menimang keturunan, supaya bertambah lipat ganda pahala kebaikannya-. Ingin memperbanyak keturunan mumpung masih muda, dengan niatan bisa menjadi umat yang dibanggakan nabi karena memiliki keturunan yang banyak. Lalu mereka berikhtiar, dengan jalan manusiawi, misalnya penyesuaian masa subur sang istri, asupan makanan bergizi, menjaga kesehatan, dan seterusnya.

Ada juga pasangan yang ingin menunda dulu beroleh momongan, dengan alasan keuangan, pendidikan -misal harus menyelesaikan sekolah-, kondisi pernikahan -misal terpaksa LDR, dan sangat kesulitan jika harus merawat anak “sendirian”, atau bisa juga karena ada kekhawatiran akan penyakit tertentu. Atau misalnya ada kekhawatiran belum siap dengan beruntunnya anak; jika terlalu dekat jaraknya; khawatir tidak bisa memenuhi kebutuhan kakaknya, dst. Lalu lagi-lagi mereka atur dengan KB, dengan melihat kalender, dengan jalan yang memang mungkin untuk dilakukan.

Ada juga yang tidak punya rencana atau pertimbangan khusus, dilakukan mengalir saja. Termasuk pilihan untuk ber-KB atau tidak, dapat anak atau tidak, sampai urusan nanti mau operasi cesar atau normal ketika melahirkan pun mengikuti kondisi saja. Bebas, tidak menjadi masalah juga.

Yang perlu diperhatikan kembali bahwa semuanya dilakukan dengan pertimbangan dan alasan yang memang masuk akal, bisa diterima, bukan mengada-ada, apalagi sampai melanggar larangan agama. Misalnya setelah menikah tidak mau punya anak karena takut direpotkan dengan anak; padahal tidak ada penyakit, keuangan oke, hidup baik-baik saja. Nah ini lain lagi ceritanya. Namun, perlu diketahui bahwa keputusan yang diambil satu keluarga dengan keluarga lain tidak mungkin sama karena kondisi tidak akan mungkin ada yang sama persis, ya kan?

Ini tentang perencanaan ya, dan ikhtiar kita untuk bisa mencapai tujuan-tujuan yang kita inginkan, bersama pasangan kita. Dan Ini baru urusan anak lho ya… Dan di dalam rumah tangga itu buanyak sekali urusan, yang tidak selesai-selesai sih, kalau dibahas di sini bisa jadi berjilid-jilid ya kan. Misalnya tentang pertimbangan tempat tinggal, istri bekerja atau jadi ibu rumah tangga, belum masalah rencana pendidikan anak, urusan ekonomi keluarga, nilai nilai yang ditanam di keluarga, harapan orang tua atas anakanaknya, dan sebagainya.

Jadi, di sini sebenarnya ada poin penting bahwa kita harus menghormati kehidupan orang lain. Tidak boleh mudah menghakimi. Dan tidak perlulah menyibukkan diri mencaricari tau kehidupan di dalam rumah tangga orang lain. Selain membuang waktu, manfaatnya pun tak ada. Jadi,daripada sibuk mengevaluasi rumah tangga orang lain, mending kita persiapkan diri membangun rumah tangga yang sesuai dengan prinsip dan visi hidup kita, serta bagi yang sudah berumah tangga ya bagaimana selalu mengoreksi apa yang sekiranya salah, tidak pas, kurang, dari kehidupan di dalam rumah tangganya; untuk bisa diperbaiki terus. Karena kuliah hidup berumah tangga itu selalu ada setiap hari, dengan ujian yang seringkali berbeda-beda tiap harinya.

Nah, apa kaitannya dengan topik kita? Ya betul sekali. Apapun rencana kita, sedetail dan serapi apapun planning kita; kembali pada pernyataan awal saya tadi, bahwa kita boleh berencana, tapi tetap, kita harus siap untuk menerima setiap perubahan rencana yang digariskan Allah pada kita. Allah bisa saja dengan sangat mudah mengubah satu dua hal, sehingga mengubah sama sekali rencana kita di awal. Jika kita tidak berusaha untuk terus berprasangka baik pada Allah, kita bisa marah dengan takdir yang ada. Merasa takdir tidak berpihak, merasa Allah tidak sayang. Padahal selalu ada hikmah di balik setiap ketetapan yang Allah putuskan dalam hidup kita. Dinamis sekali kehidupan ini. Jadi ya jangan terlalu saklek. Selalu ada ruang untuk menyesuaikan kembali rencana kita dengan ketetapan yang Allah izinkan hadir dalam hidup kita.



Kembali kepada contoh tentang anak : Kita melihat banyak pasutri yang alhamdulillah, dengan izin Allah beroleh anak lebih dari lima, dan beliau sanggup mengasuh dan mendidik anak dengan baik. Begitu pula banyak pasutri yang punya banyak anak, namun anak-anaknya tidak berhasil terdidik dengan baik. Ada juga yang punya anak hanya satu atau dua, dan semuanya berhasil berbakti pada orang tua. Ada yang anak satu-satunya justru hanya bisa menyakiti orang tuanya. Apa yang berbeda? Semuanya tentu ketetapan Allah; mungkin ada yang sesuai rencana, ada yang berbeda sama sekali. Tidak bisa juga kita semata menyalahkan orang tua nya, atau sebaliknya menyalahkan anaknya. Tapi bagaimana peristiwa2 itu bisa memberikan kita hikmah untuk bisa membaikan kehidupan kita masing-masing.

Nah, di luar itu, ketika Allah memberikan amanah, yaitu berupa anak -dan amanah apapun tentunya-  pastilah Allah telah memberikan suatu kemampuan/potensi kita dalam mendidiknya menjadi anak-anak yang shaleh/shalehah, untuk bisa menunaikan amanah itu dengan baik. Pun, ketika sekian banyak anak diamanahkan, diberikanlah potensi yang berlipat-lipat, entah dari masalah rizki, keberkahan waktu, dan sebagainya. Allah sudah mengaturnya dengan sangat sempurna. Dan ingat kan, Allah tidak akan memberikan ujian, yang hambaNya tidak akan mampu melalui? So, ketika amanah -apapun- datang, jadikan sebagai ladang kita meraih banyak pahala, dan pelajaran.

Teman-teman, yang seringkali jadi masalah adalah kita seringnya tidak mau berusaha mengoptimalkan diri kita, meng-upgrade kemampuan kita, potensi dan ilmu kita. Sebelum amanah itu datang, kita sama sekali tidak ada persiapan. Ketika amanah di depan mata, tidak bersegera meng-upgrade diri menyesuaikan kebutuhan ilmu yang diperlukan.

Sehingga, bagaimana kita siap menghadapi amanah di depan mata, jika ilmu -ibaratnya yang dasar dasar- saja kita tidak kita punya. Dan kita tidak mau belajar karena merasa cukup dengan pengalaman masa lalu, atau merasa cukup hebat dengan pengalaman-pengalaman hidup masa lalu.

Maka tak jarang, pasutri kerepotan menghadapi anak-anak. Yang dianggap nakal, susah diatur, suka melawan orang tua, gagal didik. Padahal ya sumbernya satu : orang tuanya tidak mau belajar dulu. Apalagi kalau Allah memberikan anak yang lebih banyak. 

Sayangnya, banyak yang kemudian, sudah dia tidak mau terus belajar; tapi malah menyalahkan takdir. “Kenapa saya dapat anak lagi?” atau sebaliknya, “Kenapa rumah tangga saya kayak gini, pasti karena Allah tidak segera memberikan kami momongan, jadinya tidak lagi harmonis” dan sebagainya.

Lagi-lagi, kita boleh berencana, tapi tetap kita harus selalu menerima ketetapan dari Allah, rencana Allah. Mungkin tidak menyenangkan, di luar ekspektasi kan; tapi memang itulah cara Allah untuk mendidik diri kita. Mungkin, kita dikasih kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi sebelum beroleh amanah. Agar kelak lebih maksimal saat menerima amanah dariNya. Misal, Allah kasih kita kesempatan belajar ilmu parenting dulu, ikut seminar berhari-hari -bebas karena belum memikirkan anaknya sudah makan atau belum kan- agar nanti pas sudah dapat anak beneran, ya kita menjadi orang tua terbaik, lebih baik. Maka, semestinya, memang kita boleh berencana, tapi tetap, kita harus siap untuk menerima setiap perubahan rencana yang digariskan Allah pada kita

Btw.. Saya jadi ingat kisah seorang kawan, dalam status yang di-update di facebooknya, "Mengapa sih, harus mencela. Bukankah rezeki berupa anak itu adalah hak mutlak dari Allah. Lalu kenapa masih saja ada yang mencela ketika seseorang melahirkan setahun sekali, dan banyak anaknya. Atau sebaliknya, masih juga mencela, ketika rupanya ada kawan yang masih merindukan sosok kecil penyejuk hati di rumahnya, yang tak kunjung datang”

Setiap keluarga punya kehidupan beserta masalahnya masing-masing; kenapa kita harus memperberat mereka dengan celaan, atau mungkin orang bilang itu basa-basi yang menyakiti. “Iya bener, saya anaknya banyak, sehingga si kakak jadi tidak mendapat perhatian yang besar karena harus ngurus adek2nya, iya, saya jadi tidak bisa full ASI karena sudah harus hamil lagi dan lagi; atau di sisi lain : iya, saya memang sudah sampai menangis-nangis minta sama Allah, sudah rindu dengan suara bayi di rumah kami; jangan tambah beban kerinduan kami dengan pertanyaan-pertanyaan itu ya..

Dan kita tidak pernah tau rencana Allah berikutnya. Ada kawan yang bertahun lamanya tidak beroleh anak, sekalinya hamil dapatnya kembar. Ada kakak tingkat bertahun-tahun tidak beroleh anak; tapi sekarang sudah pada sampai jenjang S3 dapat beasiswa di luar negeri -yang bisa jadi, bagi sebagian orang akan kesulitan fokus belajar ketika sudah ada anak-. Atau juga ternyata anaknya yang banyak, malah membawa rejeki sendiri; pernah liat ga sih salah satu akun IG, yang bertahun lamanya tidak punya anak, sekalinya punya anak eh 5. Bingung donk pastinya nanti rejeki dari mana, pusing dengan segala keperluan anak dari A sampai Z. Tapi masyallah, rejeki  itu memang bukan dari orang tua, tapi dari ALlah. Kita sebagai orang tua adalah perantara saja. Jadi, kalo suatu saat timbul rasa khawatir “mau dikasih makan apa anak ini”, ingat bahwa ALlah Maha Kaya. Ya kan?

Saya akan mengakhiri podcast ini dengan sebuah cerita. Pernah dengar cerita tentang keluarga dan seekor kuda tidak? Begini. Ada sebuah keluarga -yang tdd dari ayah dan anak saja- yang baru saja beroleh rezeki bisa beli kuda. Seluruh tetangga berkumpul lalu memuji-mujinya, “Wah, syukurlah pak, akhirnya bisa beli kuda juga. Kudanya bagus sekali!”. Apa kata si Ayah, "Saya tidak tahu ini rahmat atau musibah, saya hanya berprasangka baik pada Allah Swt".


Beberapa waktu kemudian, anaknya ingin belajar berkuda. Dinaikilah kuda tersebut. Qodarullah, pada saat berlatih di atas kuda, anaknya tidak bisa mengendalikan kuda yang tiba-tiba berontak. Alhasil si anak terjatuh, dan patah kakinya. Para tetangga datang menengok, “Sayang sekali ya, ternyata kuda itu membawa sial. Anak bapak jadi kena musibah!”. Tapi apa kata si ayah, "Saya tidak tahu ini rahmat atau musibah, saya hanya berprasangka baik pada Allah Swt".

Beberapa pekan berselang, datang rombongan, ke seluruh rumah penduduk, mencari para pemuda untuk ikut semacam kegiatan militer. Yang dipilih hanyalah pemuda dengan kualitas yang baik, secara fisik maupun mental. Keluarga yang anak-anak mereka terpilih, bangga karena anaknya akan turut berjuang demi kerajaan yang mereka cintai. Dan karena anak tadi kakinya masih dalam masa penyembuhan, anak itu tidak terpilih. Lagi-lagi para tetangga mengungkapkan rasa simpati mereka, “Sayang ya, Nak, kamu jadi tidak dipilih karena kakimu masih sakit itu.” Tapi apa kata si ayah, kembali, "Saya tidak tahu ini rahmat atau musibah, saya hanya berprasangka baik pada Allah Swt".

Baru beberapa hari setelah para pemuda berangkat, datang kabar buruk dari pihak kerajaan, bahwa lokasi tempat wajib militer para pemuda terkena sebuah wabah penyakit berbahaya, yang membuat semua pemuda harus meninggal dunia. Bersedihlah orang seluruh negeri. Berduyun para tetangga mendatangi anak tadi, “Nak, syukurlah kamu tidak jadi berangkat ya… Syukurlah pak, anak bapak tidak terpilih. Kalau sampai terpilih, maka nasibnya akan sama dengan anak kami. Kami tidak bisa melihat mereka lagi sekarang.”

Tapi apa kata si ayah, tetap dengan mantranya, “Saya tidak tau ini rahmat atau musibah, saya hanya berprasangka baik pada Allah Swt.”

Karena lagi-lagi, kita tidak lebih tahu atas apa yang terjadi,. Maka tugas kita, berdoa, ikhtiar menjalankan amanah dan mengupayakan yang terbaik. Lalu tawakkal, serahkan sepenuh eksekusi pada Allah.

Karena lagi-lagi, kita boleh berencana, tapi tetap, kita harus siap untuk menerima setiap perubahan rencana yang digariskan Allah pada kita. Selalu ada pilihan dari setiap situasi, dan selalu ada konsekuensi dari setiap keputusan. 

Jurangmangu Timur, 11 Juni 2020
Adhwa F. Annada

Comments

Popular posts from this blog

Terlalu Banyak Alasan #Day1

Biasakan Hal ini, Masalah Akan SELESAI!

Alasan Tidak Bahagia