Alasan Tidak Bahagia


Banyak orang mencari sebab mengapa dirinya tidak bahagia. Dia merasa butuh kekayaan untuk bahagia. Sebagian lagi membutuhkan populeritas untuk merasakan rasa itu.  Orang lainnya mengira dengan memiliki banyak anak, atau teman, relasi, mereka akan bahagia. Sebagian pemuda menyangka bahagia jika dia telah berhasil menyabet sekian ratus piala, meraih penghargaan ini dan itu. 

Sayangnya, tidak banyak yang kembali kepada alasan haqiqi dari kebahagiaan itu. Bahagia ada di hati. Bahagia ada pada hati orang beriman. Bahagia ada ketika kita mengingat Allah Swt. 

Kita terlalu banyak mencari alasan bahagia. Kita terlalu lelah untuk sekedar memutuskan jalan menuju kebahagiaan. Padahal sejatinya, hati kita sudah tertutup dengan urusan dunia, dan segala hingar bingarnya. Makin maraknya media membuat hidup kita diliputi dengan dunia, dunia dan dunia. Makin banyak hati kita diisi dengan dunia, hingga tak lagi ingat bahwa kita akan pergi dari dunia ini.

Ya, kita tidak lagi ingat akhirat. Alasannya satu : sebab hati sudah terlampau penuh dengan urusan dunia. Tidak ada ruangan lagi untuk akhirat. 

Dua puluh empat jam sudah kita sibukkan dengan dunia lagi dan dunia lagi; sekolah, kuliah, kerja, apapun urusannya hanya untuk dunia. Bohong jika ada nasehat, "hidup itu harus seimbang, jangan mikirin akhirat mulu, fifty fifty lah..". Sekarang bayangkan, apakah benar, seandainya memang itu menjadi prinsip - fifty fifty, kita lihat, jika dalam sehari ada 24 jam, apakah yakin 12 jam di antaranya digunakan untuk ibadah? 

Terkadang pernyataan itu hanya sebagai pembenaran untuk kita terus bergulat dengan dunia, jangan akhirat aja yang dipikirkan. Begitu. 

Padahal, sebenarnya jelas porsinya, "Kejarlah akhiratmu, namun jangan lupakan bagianmu dari urusan dunia. "

Apa yang harus dinomorsatukan? Ya, akhirat. Dunia, apakah ditinggalkan begitu saja? TIDAK BOLEH. Justru kita tetap harus mengingat kebutuhan kita di dunia, hak-hak kita dan keluarga selama di dunia, kita harus bekerja, mencari makan juga, belajar, kuliah dan segala hal itu; sebagai bekal kita hidup selama di dunia. Berharap kita pun bisa tetap "hidup" dengan baik di dunia, agar kita pun bisa mengejar akhirat. 

Hm.. bukan berarti kita mati-matian dulu ngumpulin dunia, sembari diniatkan "ah nanti biar pas udah tua, tinggal mikirin ibadah". Rasanya tidak bijak juga ya. Lagian, umur kita tidak tau bakal sampai tua atau bahkan akan mati esok hari, ya kan. Makanya, kita mengejar dunia bukan untuk bekal hari tua, tapi tetap memberi porsi dunia, sesuai kebutuhan kita hidup selama di dunia. 

Indah sekali rasanya jika kita bisa hidup seperti seekor burung. Setiap hari, dia keluar dari sarang dalam keadaan lapar. Tanpa ada kekhawatiran apakah hari itu bisa makan atau tidak. Dia hanya keluar, dan mencari makan - melakukan tugas, sebatas kemampuannya sebagai seekor burung. Dan benar saja, setiap sore pulang kembali ke sarang, dia selalu dalam keadaan yang kenyang. 

Menariknya, dia tidak was-was dengan "apa yang bisa dimakan untuk besok", dia tidak menyimpan makanan di sarangnya, seperti kita manusia yang mendapat kabar pandemi langsung panic buying karena khawatir besok kehabisan bahan makanan. 

Intinya di sini, kita sering kita bahagia karena pikiran dan hati sudah penuh dengan dunia. Akibatnya, ya kita selalu merasa khawatir dengan urusan dunia kita, membesar-besarkannya, kita menganggap dunia segalanya, kehilangan sedikit saja urusan dunia seolah bumi hancur, dan seterusnya. 

Bukankah bahagia, memiliki hati seperti seekor burung tadi? Tak khawatir dengan rejekinya, sebab dia yakin ada Ar Razzaaq yang menjamin rezekinya sampai dia mati. 

Ini terkait dengan alasan kedua dari tidak bahagianya kita : tidak mengenal TUHAN. Ya, kita tidak mengenal Tuhan. EH, tapi bukankah kita kenal sama Allah, koq dibilang tidak kenal? Ya, kita seringkali hanya mengaku mengenal Allah, padahal tidak sama sekali. Apa buktinya? Sederhana. Kita tidak pernah mau menyadari bahwa sejak kita di kandungan, rezeki dari Allah sudah mulai tersalurkan tanpa kita minta. Ketika kita masih bayi, Allah menjaga kita dan memberikan asupan yang cukup untuk tubuh kita, melalui ibu dan juga dari orang-orang di sekitar kita. Apakah kita meminta, waktu itu? Tidak bukan? Apakah kita punya kekuatan, atau bisa menggunakan akal kita, waktu bayi? Tidak. Kita tidak pernah meminta, kita pun hanya bisa terbaring berguling2 layaknya seorang bayi yang belum bisa berbuat apa-apa. Siapa yang mencukupi itu semua? Tentunya Allah. Saat ini, kita punya kekuatan, akal bisa digunakan, ketrampilan yang banyak listnya, kemampuan belajar dan berkomunikasi, dan sekian banyak ijazah serta sertifikat keahlian sudah ada di tangan.  Tapi kita masih saja was-was, "Besok bisa makan atau tidak?", "Besok dapat kerjaan atau tidak?" dan begitu seterusnya. Kita lupa, bahwa kita pernah dalam keadaan lemah, dan Allah mencukupi seluruh urusan kita. 

Itulah 2 alasan mengapa kita tidak bahagia. Rasanya, masih banyak, alasan lain. Kita akan bahas di pertemuan berikutnya. 

Oke, kesimpulannya apa? Coba deh kurangi sedikit porsi dunia di hati kita. Datang dan dengarlah kajian tentang akhirat, agar hati sedikit terketuk dan mau membuka pintu untuk mengingat Allah. Insyaallah, perlahan kita akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan yang selama ini kita cari. Sebab bahagia hanya bagi mereka yang mengingat Tuhannya, bahagia hanya bagi mereka yang mengenal siapa Rabbnya. 

Comments

Popular posts from this blog

Terlalu Banyak Alasan #Day1

Biasakan Hal ini, Masalah Akan SELESAI!