Untuk Adekku


Untuk Adekku, Lama pesan ini ingin saya sampaikan, bahkan sebenarnya beberapa telah saya sampaikan. Namun, semoga bisa kembali merangkai pesan cintaku padamu, pesan rindu dan sayang ini untukmu.

Ya, adekku.. kita seringkali dihadapkan pada situasi yang kita tidak pernah memilih bahkan tidak pernah terpikirkan. Atau, dipaksa memilih sesuatu yang sebenarnya bukan sama sekali kita inginkan. Ya, lagi-lagi ini tentang takdir, yang kemudian sama skenarionya : Mendapati takdir yang tidak kita harapkan.

Tapi, hati kita, harus tetap berusaha ridho untuk menerima semua itu. Ya kan?

Menerima takdir yang sesuai harap, dan yang menyenangkan diri, tentu mudah. Tapi, belum tentu kita bisa melakukannya untuk hal yang sebaliknya. Nah, baiknya Allah, ketika kita berusaha mengambil pelajaran dari rasa ketidaknyamanan itu, ketika kita berusaha melihat dari sudut pandang yang berbeda dari apa yang kita biasa melihatnya; maka di situlah Allah sajikan hikmahnya yang luar biasa.

Memang tidak mudah sih, dek. Ya, namanya juga belajar. Namanya juga, kan Allah ingin kita belajar. Mana ada, belajar yang langsung terasa mudah. Anak bayi belajar jalan aja harus jatuh puluhan, hingga ratusan kali. Pastilah belajar dalam menerima keputusan Allah itu, butuh proses, yang pasti tidak sebentar, dan bakal kita akan juga merasakan sakit sakitnya.

Termasuk ketika takdir memberikan kita kesempatan bertemu dengan orang-orang yang tidak kita sukai. Bertemu dengan orang yang mungkin tak ada kata yang tepat selain “menyebalkan”. Ya, kita harus banyak mengalah, kita harus banyak mengelus dada, harus banyak pemakluman, dan sebagainya. Bisa jadi, karena Allah ingin kita belajar membangun suatu hubungan yang lebih berkualitas. Bahwa, tak selamanya setiap hubungan akan mulus terasa. Bahwa tak selalu kita bisa hidup berdampingan tanpa masalah. Bahwa, seperti kita yang tak sempurna, begitu juga mereka, orang-orang yang ada di sekitar kita. Belajar memahami, belajar mengerti. Ya, bukan untuk mereka, tapi justru agar kita bisa lebih bahagia dalam hidup ini.

Termasuk, ketika kita bertemu dengan mereka yang membuat kita akhirnya memutuskan untuk memberi jarak. Bukan karena kita tak suka dengannya. Bukan karena dia begitu jahat perilakunya. Bukan karena kita sudah tak tahan membersamainya. Tapi, agar kita bisa menghargai batas diri kita. Ya, tidak semua orang harus berada dalam lingkaran pertama suatu hubungan. Tidak semua orang harus mendapat porsi yang sama dalam interaksi. Tidak semua orang pula harus tau dan saling tau apa yang kita alami semuanya. Jikapun akhirnya keadaan memaksa kita tak memutuskan hubungan, pastikan itu tidak menyakiti. Pastikan itu akan membaikkan keduanya. Pastikan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Hm.. Hidup berdampingan dengan orang lain, seringkali harus membuat kita lebih menjaga perasaan berharganya diri. Jangan sampai, capaian orang lain membuat kita rendah diri, lalu merasa tak berguna, tak berdaya. Jangan sampai prestasi orang lain membuat kita jadi minder, lalu membuat kita takut bermimpi dan enggan bergerak mengejarnya.

Ah, bahkan kita cuma boleh iri di 2 hal : kepada orang yang Allah beri Quran lalu terus membacanya. Dan kepada orang yang Allah anugrahkan harta, lalu dia menginfakkannya di jalan Allah. Boleh iri kepada mereka. Iri yang membuat kita terpacu untuk meningkatkan amal. Tapi, jangan sampai iri yang membuat kita jadi enggan beramal, karena merasa, “Ah, percuma, saya cuma gini-gini aja. Merasa minder karena cuma bisa infak sedikit. Merasa bodoh karena susah sekali menghafal quran. “ Ya, lalu meninggalkan amalan itu sama sekali, “Udahlah saya gak ada bakat menghafal quran. Udahlah, wong saya uangnya pas-pasan, biar yang kaya saja yang berinfak.” Jangan. Kita tidak pernah tau, amalan mana yang akan Allah terima. Bisa jadi, 2000 rupiah yang kita masukkan ke kotak amal masjid, yang akan menyelamatkan kita dari neraka Allah. Kita tidak pernah tau, bisa jadi 1 ayat yang susah payah kita hafalkan itu yang justru membuat kita semakin bersemangat beramal, dan darinya membuat kita beroleh syafaat Allah kelak.

Ya, mungkin kita tidak bisa seperti mereka, anak-anak pondok, bisa fokus menghafal 24 jam, tanpa “gangguan” kuliah, kerja, kesibukan lain. Tapi, jika kita tidak bisa menghafal seperti mereka, jangan ragu untuk memulainya, meski hanya bisa 1 ayat sehari. Jika kita tidak bisa murojaah dengan lancar, tanpa pegang mushaf, atas hafalan-hafalan kita yang sudah begitu lama kita tinggalkan; jangan ragu untuk membuka kembali juz-juz tersebut, lalu kembali ulang satu per satu ayat. Jika kita belum bisa menjadikan hafalan kita mutqin, sebagaimana yang lain; jangan kemudian membuat kita meninggalkan quran. Jika kita tidak bisa meraih semuanya, maka jangan sampai kita kehilangan yang sedikit yang masih bisa kita jangkau.

Ya, mungkin kita tidak bisa seperti mereka, orang-orang kaya, yang gajinya puluhan bahkan ratusan juta per bulan, dalam bersedekah. Tapi, jika kita tidak bisa mengalokasikan uang untuk membangun masjid, membangun rumah anak yatim, membangun rumah quran, jangan sampai kita ketinggalan untuk sekedar mengeluarkan seribu, dua ribu untuk mereka yang membutuhkan di jalanan. Jika kita tidak bisa selalu sedia uang ketika ada yayasan A, B, C meminta bantuan; setidaknya, kita bisa bersedekah dengan perkataan dan sikap baik kita pada mereka, dengan senyuman dan tidak menghakimi, apalagi menuduh yang tidak baik. JIka kita tidak bisa rutin mengeluarkan infak; untuk bayar kosan, untuk bantu biaya sekolah adek saja sudah pas-pasan, ketahuilah, sedekah terbaik justru sekedah kepada kepada keluargamu. Jadi, jangan pernah ragu untuk melakukan hal itu. Mungkin orang lain tidak pernah mengenal nama kita; tapi, ada keluarga yang merasakan kehadiran kita. Dan pastinya, Allah mencatat semuanya.

Mungkin itu juga yang saya pikirkan; ketika ada yang bertanya, “Mbak kenapa sih suka bikin postingan di IG, sampai bikin podcast segala?” Kalau boleh saya katakan bahwa perasaan bahagia itu bisa timbul ketika kita merasa “berharga”. Ketika kita merasa ada yang butuh dengan diri kita, sekalipun hanya sekedar memberikan satu dua kata semangat untuknya, sekedar menyodorkan telinga mendengarkan keluh kesahnya. Itu seperti ada perasaan berharga yang muncul di hati saya. Dan itu bisa jadi salah satu cara bahagia.

Kamu juga harus begitu, Adekku. Di usia-usia yang rawan dengan “quarter life crisis” temukan apa yang bisa membuatmu bahagia, tanpa harus membandingkan dirimu dengan orang lain. Jadilah berharga, paling tidak untuk dirimu sendiri. Karena Tuhanmu sudah menciptakanmu dengan sempurna, dengan potensi yang sangat berharga,  yang sangat sayang jika disia-siakan, bahkan tidak pernah kita akui keberadaannya karena kita sibuk melihat potensi orang lain. Selalu ada hal-hal kecil, hal sederhana yang bisa banget membuat kita lebih menghargai diri sendiri.

Seringkali kita lebih pandai menghargai orang lain, ketimbang menghargai diri kita sendiri. Sehingga muncullah perasaan minder, perasaan ga berguna, perasaan ga penting. Hasilnya? Ya, kita lelah sendiri. Bukannya bergerak untuk melakukan hal yang manfaat; kita malah sibuk mengutuki kelemahan diri. Akhirnya ya, kita tidak ke mana-mana. Di situ situ aja. Dan semakin merasa tidak berguna.

Maka adekku, yuk, kita putus rantai perasaan seperti itu, dengan mencoba berbincang dengan diri, bahwa diri kita itu, pasti oleh Allah, diciptakan dengan segala potensi luar biasa. Jika kita mau mengingat-ingat kembali prestasi, pencapaian, dan “kegunaan” kecil diri kita selama ini, insyaallah sangat bisa menumbuhkan kembali rasa berharga, dan dengan begitu, kita jadi makin semangat bikin target, dan mencapai hal baru terus dan terus berkembang makin baik, dan makin manfaat.

Perjalananmu, juga perjalananku tentunya akan masih sangat panjang. Meski kita tidak tau akan sepanjang apa, karena kita tidak tau usia sampai kapan kan. Tapi, atas apa yang sedang, dan akan kita perjuangkan ke depan, harus kita persiapkan dan laksanakan dengan baik. Ingat ingat kembali targetmu, impian-impianmu. STOP membuka capaian orang lain, STOP membandingkan dirimu dengan jalan hidup orang lain. Kamu tidak benar-benar tau pontang-pantingnya mereka, kamu tidak benar-benar mengerti berdarah-darahnya mereka memperjuangkan mimpinya. Maka, ketika saat ini kamu harus berdarah-darah, harus kerja keras; maka itulah masa-mu. Jangan bandingkan, “Harusnya aku sudah begini, kayak temanku…” Beda, tidak akan sama.

Pernah ada kisah, seorang anak kecil memperhatikan metamorfosis kupu-kupu. Dari ular, dia perhatikan hingga menjadi kepompong. Anak kecil itu kemudian merasa kasian, karena koq ularnya dibungkus ya.. Lalu perlahan beberapa hari kemudian, kepompon perlahan membuka. Belum sempurna. Tapi, lagi-lagi anak kecil itu kasian, “Koq kupu-kupunya kesulitan keluar ya?” Lalu dia mengambil gunting, diguntingnya pupa tersebut, sehingga kupu-kupu itu bisa keluar juga. Tapi apa yang terjadi? Kupu-kupu itu bisa terbang? Ternyata tidak.



Pelajaran apa yang kita ambil? Semua butuh proses. Prosesnya bisa jadi tidak sama. Kita tidak boleh memaksakan proses kita harus seperti kawan kita. Usia sekian harus sudah begini begitu. Tidak ada aturan seperti itu. Jadi, apa yang kita sedang perjuangkan sekarang nikmati saja. Jangan ingin segera mendapat hasil kupu-kupu yang indah. Bisa jadi, kalaupun yang keluar adalah kupu-kupu indah, tapi nyatanya, tidak bisa terbang sebagaimana mestinya. Jadi, nikmati setiap prosesmu tanpa membandingkan ya.. bisa jadi memang ini cara Allah membungkusmu, memprosesmu hingga siap keluar menjadi kupu-kupu yang akan terbang bebas mengeliling taman bunga nan indah. Begitu

Kita ga tau kapan akan tercapai cita-cita kita, kapan akan sampai pada tujuan kita. Yang bisa kita lakukan adalah nikmati prosesnya, langkahkan kaki di jalan menuju ke sana, dan terus yakinkan pada diri kita ya, insyaallah bisa mencapainya.

Mungkin dan pasti ada, masa ketika kehilangan semangat, bener-bener lelah dengan perjuangan itu.. ya, kita yang pasti paham bahwa masa itu pasti terjadi dan pasti tidak mudah untuk langsung bangkit saat itu. Perlu kawan, mungkin kita hubungi kawan kita, atau baca buku motivasi atau apapun. Memang tidak bisa serta merta balik ke semangat banget; tapi insyaallah dengan menyadari datangnya masa itu, dan berupaya untuk naik kembali, perlahan akan kembali semangat lagi. Yang penting jangan berbalik arah, terus maju!

Terakhir, adekku.. Uhibbuki Fillah.. Hmm...kalau sayangnya karena Allah itu, rasa sayangnya akan bertambah semakin melihat sosok yang disayang itu makin cinta sama Rabbnya, makin taat ibadahnya, makin dekat sama qurannya. Dan namanya sayang karena Allah itu, semestinya ga sungkan untuk saling bertegur dan bertukar nasehat ketika saudaranya itu melakukan hal yang tidak Allah sukai.

Tidak terlampau peduli, sosok di hadapannya akan marah dengan nasehat itu, atau tidak. Yang lebih dikhawatirkan olehnya, bukan amarah sahabatnya, melainkan takut jika sahabatnya harus dimurkai Allah karena melakukan perbuatan yang tidak disukai oleh Allah.

Hai, jangan sungkan untuk menasehat saya ya, ketika saya salah. Jangan ragu untuk menegur ketika saya tidak bersemangat atau sedang jenuh dan futur. Dan jangan takut untuk menarik tangan saya kenceng-kenceng, biar saya tetap bertahan berjalan di jalan yang sedang kita sama-sama perjuangkan ini. Ingatkan saya dengan janji Allah akan surgaNya, dan juga janji pertemuan dengan bapak ibu saya, di surgaNya, jika kita terus berjuang bertahan di jalan kebaikan.  

Udah itu aja ya Adekku.. Maaf panjang sekali. Dan makasih ya sudah menyimak sampai akhir. Sampai jumpa di lain kesempatan. Semoga memberkatimu, di manapun kamu berada.





Comments

Popular posts from this blog

Terlalu Banyak Alasan #Day1

Biasakan Hal ini, Masalah Akan SELESAI!

Alasan Tidak Bahagia