Bukan Sekedar “Menjaga Kewarasan”, Tetapi “Menjaga Ketaatan”


Mendidik anak adalah pekerjaan besar. Pekerjaan yang akan dipertanggungjawabkan urusannya dunia dan terlebih di akhirat. Apakah, kita bisa menjawab pertanyaan Allah, tentang apa yang sudah kita perbuat pada anak-anak kita? Bukankah Allah memberikan kita peringatan, bahwa jangan sampai kita meninggalkan di belakang kita, generasi yang lemah. Ya, termasuk mereka yang lemah imannya, ketaatannya, dan yang lainnya. Lalu, apa yang sudah kita perbuat selama ini? Sudahkah kita mengerti betul esensi dari pendidikan anak? Sudahkah kita tau betul peran penting orang tua dalam pendidikan anak-anaknya.

Ya, kita sering merasa mudah capek, mudah lelah, mudah frustasi, mudah kesal; dalam proses mendidik anak-anak kita. Sekalipun, hanya sekedar menemani mereka bermain, sekalipun hanya sekedar memantau mereka yang asyik dengan kegiatannya masing-masing. Tapi, kita mudah naik pitam, mudah marah, mudah emosi; ketika anak-anak kita melakukan kesalahan-kesalahan yang sebenarnya normal dilakukan anak seusia mereka. Kita mudah kesal saat anak balita kita menumpahkan air ketika dia berusaha mengangkat teko dan menuangkannya di gelas kecil miliknya. Kita mudah teriak, saat anak sulung kita, yang juga belum baligh, merusakkan perabot rumah kita; memecahkan piring, saat dia sedang berusaha mencuci piring usai digunakan makan siang. Kita bahkan mudah sampai memukul atau membanting-banting barang, hanya karena anak kita berdua bertengkar saat rebutan mainan.

Ah, ya, memang tidak mudah ya, menjadi orang itu. Tapi, bukankah pahala besar Allah akan hadirkan di balik kesulitan, oh bukan, tantangan yang ada?

Saya, termasuk Ibu yang masih belajar banyaaaak hal. Terutama belajar untuk sabar. Belajar untuk tidak mudah kesal pada mereka. Belajar untuk tidak mudah berteriak ke mereka. Belajar untuk tidak lagi membanting-banting barang karena emosi dengan “kreativitas” mereka. Ya, belajar. Tapi katanya kan belajar itu sepanjang waktu. Bahkan, bagi orang yang sebelum punya anak sudah memiliki bekal ilmu banyak, ketika berhadapan dengan anak, ya dia harus kembali belajar lagi dan lagi. Seorang konselor parenting pun berkata bahwa beliau pun masih terus belajar banyak hal untuk menyesuaikan perkembangan anak-anaknya, dan menyesuaikan metode dan pola pendidikan seperti apa yang sesuai dengan anak-anaknya.

Oh ya, saya ada buku bagus tentang parenting, judulnya Propethic Parenting Girls, buku yang membahas seluk beluk parenting untuk anak kita, khususnya perempuan. Tidak ingin membahas lebih jauh isi buku tersebut. Saya hanya ingin membacakan beberapa part di pendahuluan, yang setelah membaca bagian itu membuat saya kembali mengingat lagi esensi dari apa yang saya lakukan sebagai seorang Ibu, sebagai seorang pendidik anak-anak saya. Izinkan saya untuk membahasnya di sini, supaya saya pun bisa kembali mengingat hal ini, jika suatu saat butuh motivasi dalam mendidik anak-anak saya.


Pada Bab Mengapa Putri Kita Harus Dididik, ada beberapa alasan yang bisa menguatkan kembali motivasi kita dan menguatkan kembali kesabaran kita dalam mendidik anak. Kita bisa melihatnya dari 2 perspektif yang berbeda. Yang pertama dari perspektif orang tua :

1. Mendidik Anak adalah bagian dari kewajiban. Amanah anak bukan sekedar untuk diurus secara fisik (makanan, pakaian, rumah, mainan, dll). Melainkan yang lebih ditekankan adalah mendidiknya menjadi anak yang sholih, anak yang baik. Apa dalilnya? Allah berfirman dalam surat At Tahrim ayat 6, bahwa jagalah diri dan keluargamu dari api neraka. Ini merupakan dalil bahwa menjaga keluarga (dalam arti mendidiknya) agar tidak masuk neraka, merupakan kewajiban setiap kita, sebagai orang tua.

2. Mendidik anak adalah wujud cinta Allah kepada hambaNya. Mendidik mereka adalah bentuk ungkapan kasih sayang kita kepada mereka. Dan rasa sayang yang kita curahkan kepada anak-anak kita itu sejatinya adalah cinta dan sayang yang Allah titipkan di dalam hati-hati kita, untuk diberikan kepada anak-anak kita. Maka sudah semestinya kita bisamemberikan sayang kita, cinta kita, sepenuh hati, pada anak-anak kita. Bagaimanapun kondisi mereka. 

3. Mendidik anak adalah bentuk ikhtiar kita, atas harapan harapan terbaik kita untuk mereka. Kita ingin mereka menjadi anak yang baik, anak yang sholihah. Itu adalah keinginan semua orang tua. Mulai dari sekelas Nabi, sampai ke manusia biasa seperti kita. Jadi, kita mendidiknya, karena kita berharap yang terbaik kepada mereka. Mendidik Anak, adalah wujud ikhtiar kita agar anak-anak kita nantinya menjadi penyejuk hati, qurrota a’yun bagi kita. Menyenangkan ketika dipandang.

4. Mendidik anak adalah ikhtiar agar kita tidak rugi. Pahala mendidik sangat besar. Mendidik anak perempuan bisa menjadi penghalang seseorang dengan api neraka. Mendidik anak pula akan membuat kita mendapat bakti mereka, kelak ketika kita sudah lanjut usia. Bahkan tidak perlu menunggu masa itu. Ketika kita mendidiknya dengan baik, maka sejak kecil pun dia sudah menjadi pribadi yang hormat kepada kita. Maka betapa ruginya jika kita tidak maksimal dalam mendidik mereka, jika kita setengah-setengah, tidak sabaran dalam mendidiknya.

Perspektif kedua mengapa kita harus mendidik anak kita, kita akan melihat pada apa yang didapatkan oleh anak kita, jika kita mendidiknya dengan baik.


1. Sumber daya umat. Umat ini perlu wanita hebat, para mujahidah sejati. Maka, siapa lagi jika bukan kita, yang berupaya mencetak anak-anak kita,supaya kelak dia menjadi pejuang sejati, pejuang Islam ini. Sebagaimana Khadijah, Aisyah, dan banyak shahabiyah yang besar peranannya dalam perjuangan Islam. Kita berharap anak-anak kita kelak seperti itu. Supaya menjadi anak-anak yang bisa turut berkontribusi untuk kebaikan dan kemanfaatan bagi umat manusia. Misalnya dengan mempersiapkannya menjadi “al umm al madratul ula”, atau memasukkannya ke bidang-bidang yang di sana dibutuhkan peran seorang wanita, seperti dokter kandungan, dll

2. Peran sentralnya kelak di dalam keluarga. Dia akan menjadi pendidik, menjadi tiang bagi keluarga. Menjadi tauladan di keluarga. Dia pun akan mencetak generasi berikutnya : apakah semakin baik, atau sebaliknya. Mempersiapkan seorang anak perempuan untuk menjadi hebat, dalam perannya di rumah tangga, artinya kita sudah siap untuk mencetak Generasi berikutnya yang lebih baik.

3. Perannya sebagai seorang Istri. Karena peran istri tidak mudah. Istri sholihah adalah sosok yang akan mendapat hadiah surga. Bukankah dengan mendidik anak kita menjadi calon istri sholihah, maka tentu menjadi harapan setiap ibu bahwa anaknya akan masuk surga; dan juga akan membawa orang tuanya ke surga juga. 

Jaga Kewarasan, dengan Jaga Ketaatan

Mendidik anak itu bukan pekerjaan ringan, tapi bukan juga sesuatu yang tidak bisa kita panggul, dan laksanakan amanah tersebut. KIta hanya perlu sering mengingatkan diri, bahwa mendidik anak itu bukan sekedar butuh penjagaan atas kewarasan; namun juga butuh penjagaan ketaatan.

Tidak mudah sih, tapi, memahami kembali esensi mendidik, sepertinya membuat kita kembali mengingat bahwa apa yang sedang kita lakukan merupakan upaya kita untuk taat. Tidak ringan sih, tapi kalau kembali mengingat besarnya ganjaran, tentu bisa kembali memulihkan resah dan lelah. Tidak instan sih, tapi,  mengerti bahwa setiap niat dan sekecil apapun tindakan yg bisa kita lakukan saat ini tak akan luput dari catatan malaikat, tentu akan membuat kita kembali semangat untuk mengupayakan anak kita terjaga taqwa.

Perlu untuk menjaga kewarasan. Perlu untuk juga menjaga ketaaatan. Mengingat kembali bahagia. Memenuhi setiap hak dari jiwa. Dengan tetap ingat, semua ada porsinya. Perlu bertahap, dan tak boleh terlalu sekejap. Jangan kita memaksakan anak kita bisa baca quran, hafal quran, hafal kitab segala macam; jika tidak kita mulai dari pembelajaran yang bertahap. Jangan sampai amalan-amalan mulia itu justru dibenci oleh anak kita, karena kita tidak perlahan memberikan pembiasaan dan tauladan kepada anak kita untuk melakukan amalan itu. Jangan sampai perintah-perintah Allah, apalagi yang wajib, justru ditinggalkan oleh anak-anak kita (naudzubillahi mindzalik) karena kita tidak sesuai memberikan perintah itu sesuai tahapan perkembangan anak, sebagaimana telah diberikan aturannya, dan teladannya oleh para Nabi, teladan Sahabat dan orang-orang sholih. 

Ya, mungkin memang kunci menjaga kewarasan adalah menjaga ketaatan. Bukankah jika taqwa dijaga, pintu keluar Allah buka? Bukankah selama ini kebaikan terluput, sebagai akibat diri lalai taat dan gemar maksiat? 

Bukankah mendidik jiwa yang masih fitrah itu, butuh hati dan jiwa seorang ibu yang terus sadar. Sadar, bahwa dirinya pun manusia yg tak perlu sempurna. Sehingga membuatnya terus coba dan belajar menjadi guru terbaik bagi anak-anaknya. Sadar, bahwa dirinya banyak diselimuti dosa. Sehingga dia terus meliputi hari dg istighfar. Berharap doa malaikat, atas mereka yg tulus bertaubat. Sadar, bahwa tugasnya tak mudah. Sehingga dia tawakal pada Rabbnya. Bahwa bukanlah dia yang menjadikan anaknya taat, tapi Allah, yang memegang hati anak-anak kita

Comments

Popular posts from this blog

Terlalu Banyak Alasan #Day1

Biasakan Hal ini, Masalah Akan SELESAI!

Alasan Tidak Bahagia