Terbiasa Hidup Sederhana, Kunci Kebahagiaan

Kita sering merasa, bahwa harta kekayaan, pangkat jabatan, popularitas, maupun jumlah pengikut/follower/subsriber, dan sebagainya sebagai kunci kebahagiaan. Siapa yang kaya raya, maka pasti bahagia. Siapa yang punya jabatan tinggi, sudah pasti tak sengsara. Siapa yang punya follower sampai 1M, maka tak akan lagi mengalami kesedihan karena dikelilingi banyak penggemar. 

Sayangnya kita salah. Bahagia bukan pada besarnya kekayaan, tingginya jabatan, atau banyaknya penggemar kita; namun bahagia itu ada ketika hati merasa cukup dengan apa yang Allah karuniakan pada kita. Kita menyebutnya Qona'ah. Merasa cukup. 

Maka tak heran, kebiasaan hidup sederhana sangat ditanamkan oleh Nabi kita, juga para sahabat, kepada anak-anak mereka. Kita ambil contoh bagaimana Rasulullah mendidiknya putrinya, Fathimah untuk hidup sederhana. 

Pada suatu hari, Hindun binti Hubairah datang ke rumah Rasulullah Saw. Di tangan Hindun ada cincin emas besar. Rasulullah pun menegurnya. Lalu hindun menceritakan kejadian itu kepada Fatimah. Fatimah langsung membuka kalung emas di lehernya, membawanya kepada Rasulullah, dan meminta pendapat tentang kalung tersebut. 

Rasulullah lalu bersabda, "Wahai Fatimah, apakah engkau suka nanti orang-orang mengatakan, 'Lihat, putri rasulullah Saw menyimpan rantai api neraka di tangannya!'"?

Fatimah seketika pergi menjual kalung itu, menggunakan uang hasil penjualan untuk membeli budak dan memerdekakannya. Rasulullah pun bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fatimah dari api neraka".

Luar biasa ya. Hanya sebuah kalung. Bagaimana dengan kita, yang sering sekali membeli barang-barang tidak penting, branded, pakaian, gamis - yang sebenarnya "hanya karena lucu" atau kepengin, atau karena sedang ada diskon besar-besaran; padahal sebenarnya barang-barang itu tidak dibutuhkan. Tujuannya bisa jadi hanya untuk pamer, OOTD nampang di akun sosmed masing-masing, dan seterusnya. 

Rasanya memang jauh ya, kita dengan kebiasaan putri rasulullah, dan para ulama. 

Kita pun sudah sering mendengar kisah Fatimah yang menumbuk gandum sendiri sampai membekas di tangan, mengangkat gerabah berisi air seorang diri sampai membekas di lehernya, menyapu rumah sampai berdebu pakaiannya. Meskipun Rasulullah Saw pada saat itu adalah seorang kepala negara, tapi kesederhanaan tetap melekat pada diri Fatimah. 

Zainab, kakaknya Fatimah, pun demikian, sudah diajak bekerja membantu pekerjaan rumah tangga ibunda. Zainab bahkan sejak kecil sudah dilatih untuk memiliki sifat keibuan dengan menugasinya mengasuh sang adik, Fatimah Radhiyallahu 'anha. 

Seseorang yang dididik untuk bergaya hidup bermewah-mewahan, bisa jadi akan menjadi pribadi yang malas, tidak peka dengan kondisi sekitar, empati sosialnya pun rendah. Maka, sekaya apapun kita, atau se-elit apapun orang tua kita; maka kita harus membiasakan diri untuk tetap menjaga gaya hidup sederhana.

Kita bacakan perkataan Al Imam Ibnul Qoyyim terkait kebiasaan baik untuk hidup sederhana ini, yang semoga bisa kita praktekkan, lebih-lebih kita tanamkan untuk mendidik anak-anak kita. Beliau berkata, "Orangtua hendaklah menjauhkan sifat malas dan berleha-leha. Sebaliknya, sang anak hendaklah dibiasakan untuk mengerjakan kesibukan. Sebab kemalasan dan membuang waktu akan berakibat buruk dan menimbulkan penyesalan, sedangkan bersungguh-sungguh dan berlelah-lelah justru akan berubat manis lagi terpuji, baik di dunia maupun di akhirat. Ketahuilah, orang yang paling rehat adalah orang yang paling penat. Kegemilangan di dunia dan kebahagiaan di akhirat takkan dicapai , kecuali melalui jembatan kepenatan." 

Mau bahagia, mau sukses, dunia akhirat? Biasakan hidup sederhana, bagaimanapun kondisi kita. 

Referensi : Prophetic Parenting for Girls, Pro-U Media
Picture From : Pexels.com

Comments

Popular posts from this blog

Terlalu Banyak Alasan #Day1

Biasakan Hal ini, Masalah Akan SELESAI!

Alasan Tidak Bahagia